Pages

Rabu, 15 Mei 2013

METODE TARJIH IMAM NAWAWI DALAM MENYELESAIKAN PERBEDAAN PENDAPAT ANTARA MAZHAB AL-SYAFI’I (Kajian Terhadap Kitab Minhaj Al-Talibin).



A.  Pendahuluan
Kata al-tarjih adalah bentuk masdar (sumber) dari kata dasar rajjaha, artinya mengunggulkan sesuatu dengan lebih condong kepadanya. Ada juga dikatakan sesuatu barang dikatakan unggul bila. timbangannya bertambah atau lebih berat dari pada yang lainnya. Tarjih terdiri dari dua bentuk, yaitu: pertama, tarjih al-riwayah, yaitu tarjih di mana bila terjadi perbedaan dalam penukilan-penukilan dari imam mereka terhadap berbagai kasus dalam fiqh, ulama-ulama berikutnya mentarjih riwayat orang terkenal kemasyhuran dan kecermatannya, seperti dikuatkan al-Rabi'i (w. 270 H), yang apabila bertentangan dengan riwayat al-Muzanni (w. 264 H) dalam men-tarjih perbedaan pendapat imam al-Syafi’i.[1] Kedua, tarjih al-dirayah (tarjih pemikiran). Dalam melakukan pentarjihan pemikiran ini, mereka mentarjih pendapat imam mereka sendiri apabila terjadi perbedaan pendapat atau antara pendapat imamnya dengan pendapat para murid dan pengikutnya. Mereka mentarjih pendapat yang lebih sesuai dengan usul imamnya dan yang lebih dekat kepada al-Qur’an, Hadits dan qiyas.[2]
Pentarjihan ini muncul sesudah tidak ada lagi orang yang dianggap sanggup berijtihad secara bebas, bahkan di waktu sebahagian ulama yang mengatakan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup, maka yang muncul kemudian adalah orang berbondong-bondong untuk melakukan tarjih bila tarjih perbedaan pendapat antara satu ulama dengan ulama lainnya. Anggapan tidak ada lagi mujtahid mutlaq terus berkembang. Ini terlihat dari komentar ulama terkenal seperti at-Ghazali “sesungguhnya tidak terisi zaman ini dengan mujtahid mutlaq juga imam Abu Ishaq at-Syairazi mengatakan “Tidak boleh kosong zaman harus ada seorang mujtahid ”.[3] Dari berbagai komentar ulama terdahulu tidak secara tegas mengatakan pintu ijtihad telah tertutup, juga dalam sejarah tidak ditemukan data otentik tentang ulama yang berpendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup.[4] Namun terdapat ulama yang mengatakan bahwa pintu ijtihad masih terbuka, di antara ulama tersebut adalah Imam Mal al-Din ‘Abd al-Rahman al-Suyuti salah seorang ulama Syafi’yyah yang terkenal (w. 911 H) menolak wacana bahwa ijtihad sudah tertutup. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa ijtihad terus berkembang selamanya hingga akhir zaman karena ulama-ulama mazhab mengemukakan dalil-dalil dan pendapat tentang keharusan berijtihad dan mencela taqlid juga melarang bertaqlid pada mereka dan menyuruh untuk berpikir.[5]
Di sisi lain terdapat Imam Nawawi yang hidup pada abad Ke VII ini merupakan salah seorang tokoh pengikut mazhab imam Syafi’i yang membela mazhab imamnya sama halnya dengan ulama sebelumnya seperti imam a­­­l-Ghazali, al-Mawardi, al-Juwaini, dan lainnya yang telah mengembangkan pendapat imam Syafi’i dalam karyanya masing-masing serta mengemukakan dalil dan mencari 'illat (alasan yang logis) serta mengulas dan menguraikan furu' fiqh secara lengkap sesuai kemampuannya. Imam Nawawi dinilai sangat ahli dalam bidang Hadist, fiqh, bahasa dan lainnya. Karena keilmuannya ini ulama mutakhkhirin menganggapnya sebagai mujtahid tarjih dalam mazhab Syafi'i sama halnya dengan imam al-Rafi' i.[6]
Kitab Minhaj al-Talibin merupakan salah satu kitab karya imam Nawawi yang disyarah oleh Jalal al-Din al-Mahalli (W.864 H) yang diberi namanya Kanz al-Raghibin dan dikomentari oleh Syihab al-Din Ahmad bin Ahmad al-Qalyubi (W. 1069 H), ia secara tegas mengatakan bahwa Abu Qasim 'Abd al-Karim al- Rafi'i[7] (W. 623 H) merupakan orang yang mula-mula men-tarjih pendapat yang berbeda dalam mazhab Syafi'i. Kemudian muncul al-Nawawi sebagai penerusnya.[8] Bahkan ada di antara ulama kemudian mengatakan, apabila terjadi  pertentangan dalam mentarjih antar al-Nawawi dengan al-Rafi'i, maka yang didahulukan adalah pendapat yang di-tarjih al-Nawawi. Di samping mereka menentukan urutan pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi'i adalah hukum yang disepakati oleh Syaikhani (imam al-Nawawi dan al-Rafi'i) kemudian yang dipastikan oleh al-Nawawi kemudian al-Rafi’i, kemudian yang di-tarjih oleh ulama-ulama lain yang alim dan yang wara’, dan yang di pastikan oleh para pen-tahqiq muta'akhirin seperti syekh Zakaria al-Ansari, Ibnu Hajar al-Haitami, Ibnu Ziyad dan lainnya.[9]
Beranjak dari pembahasan di atas, dapat memunculkan tiga rumusan masalah, yaitu; pertama, apa latar belakang ia men-tarjih pendapat pendapat yang berbeda dalam mazhab al-Syafi`i?. Kedua, langkah-langkah apa saja yang ditempuhnya dalam mentarjih salah pendapat Al-Syafi`I ?. Ketiga, metode apa yang digunakan dalam men-tarjih  pendapat tersebut, baik antara imam Syafi’i maupun perbedaan antara pendapat Syafi'iyah ?.

B.  Biografi Imam al-Nawawi
Imam al-Nawawi adalah seorang ahli hukum Islam ternama dan ahli hadits yang dipercaya. Nama lengkapnya ialah Yahya Ibnu Syaraf Ibnu Muri Ibnu Hasan Ibnu Husein Ibnu Muhammad Ibnu  Jum`ah Ibnu Hizam al-Hawrani al-Dimasyqi al-Syafi`i, dengan sebutan Kuniyahnya yaitu, Abu Zakariya al-Nawawi al-Dimasyqi. Ayah Imam al-Nawawi bernama Syaraf Ibnu Muri adalah seorang yang terkenal saleh dan taat. [10] Ia dilahirkan di Nawa, yaitu sebuah desa sebelah barat daya Damaskus Syiria pada bulan Muharram tahun 631 H atau bertepatan dengan Oktober tahun 1233 M,[11] sesuai dengan kesepakatan para sejarawan.  Sementara menurut K.H. Sirajuddin Abbas dalam bukunya Sejarah dan Keagungan mazhab Syafi`i, Imam al-Nawawi lahir pada tahun 630 H atau bertepatan dengan tahun 1234 M.[12] Perbedaan tahun kelahiran al-Nawawi ini bukanlah suatu yang prinsip, di samping perbedaan ini pula dengan angka yang tidak terpaut terlalu jauh, dan kemungkinan besar perhitungan menurut Sirajuddin Abbas adalah akhir tahun 630 H.
Pada mulanya Imam al-Nawawi mempelajari ilmu pengetahuan dari ulama-ulama terkemuka di desa kelahirannya, yaitu pada umur sembilan tahun. Dalam waktu empat bulan setengah, ia sudah hafal kitab al-Tanbih kemudian dilanjutkan dengan mengahafal seperempat kitab al-Muhazzab.[13] Ia terus bersama dengan Syaikh Kamaluddin Ishaq bin Ahmad, kemudian pergi haji bersama ayahnya. Kemudian setelah umurnya menginjak dewasa, ayahnya merasa tidak cukup kalau anaknya belajar di desa tempat kelahirannya itu. Maka pada tahun 649 H, atau bertepatan dengan 1251 M, bersama ayahnya Nawawi berangkat ke Damaskus. Damaskus di waktu itu tempat berkumpulnya ulama-ulama terkemuka, dan tempat kunjungan orang-orang dari berbagai pelosok untuk mendalami ilmu-ilmu keislaman. Di kota itu juga terdapat beberapa sekolah agama, dan ada yang menyatakan tidak kurang dari 300 buah sekolah tersebar di Damaskus waktu itu.
Begitu Nawawi sampai di Damaskus ia langsung berhubungan dengan seorang alim terkenal, yaitu syech Abdul Kafi ibnu Abdul Malik al-Rabi (w. 698 H), dan dengan syech Abdurrahman ibnu Ibrahim ibnu al-Farkah (w. 690 H),[14] dan dari mereka Nawawi banyak belajar. Beberapa waktu kemudian ia dikirim oleh gurunya itu kesebuah lembaga pendidikan yang terkenal dengan al-Madrasah al-Rawahiyah, dan di situlah ia tinggal dan banyak belajar.
Dalam bidang fiqih ia belajar dari ulama-ulama terkemuka dari mazhab Syafi`i. Di antara guru-guru fiqihnya yaitu: syekh Abu Ibrahin Ishaq ibnu Ahmad ibnu Uthman al-Maghribi al-Dimasyqi (w. 650 H). Ia juga belajar dari mufti Damaskus yaitu Abu Muhammad Abdurrahman ibnu Nuh ibnu Muhammad al-Dimasyqi (w. 654 H). Dan dari Abul Hasan Sallar ibnu al-Hasan al-Diamasyqi  (w. 670 H), seorang ulama terkenal ahli dalam seluk-beluk mazhab Syafi`i.[15] Selanjutnya ia belajar fiqih kepada Ridha  bin Burhan, Zaid al-Khalid, Abdul Azis bin Muhammad al-Anshari, Zainuddin bin Abdul Daim, Imamuddin Abdul Karim al-Harastani, Zainuddin Khalaf bin Yusuf, Taqiyuddin bin Abi al-Yasar, Jamaluddin bin al-Sirafi, dan Syamsuddin bin Amr.[16]
Dalam bidang ilmu Hadis ia belajar antara lain kepada al-Hafidh Ibrahim Isa al-Muradi al-Andalusi al-Dimasyqi (w. 668 H), juga kepada Abu ishaq Ibrahim ibnu Abi Hafas Umar ibnu Mudar al-Wasiti, dan daripadanya Nawawi menamatkan pelajaran kitab Sahih Muslim. Kemudian ia belajar Hadis pula kepada syekh al-Hafiz al-Mutqin Zainuddin Abul Baqa Khalud ibnu Yusuf ibnu Sa`ad al-Nabulisi (w. 663 H).[17]
Dengan kepiawaian dan kemampuan intelektual Nawawi yang sangat luar biasa sebagai seorang murid sekaligus sebagai guru, ia telah banyak memiliki murid-murid yang terkenal lagi alim. Adapun murid-muridnya antara lain: al-Khatib Sadar Sulaiman al-Ja`fari, Sadr al-Rais al-Fadhil Abu al-Abbas Ahmad bin Ibrahim bin Mus`ab, Alauddin Abu al-Hasan Ali bin Ibrahim bin Daud al-Dimasyqi yang dikenal dengan Ibnu al-Athathar, Syihabuddin Ahmad bin Ja`wan, Syihabuddin al-Arbadi, Alauddin bin Atar, Ibnu Abi al-Fath dan al-Mizzi.
Nawawi sejak berusia 25 tahun hingga wafatnya, ia telah banyak menulis kitab baik dalam kajian fiqih maupun Hadis, serta dalam beberapa kajian lainnya. Di antara karya-karya yang ditinggalkannya adalah sebagai berikut:
  1. Dalam bidang fiqih, di antaranya; al-Fatawa, al-`Iddah fi al-Manasik, al-Majmu` al-Syarh al-Muhazzab, al-`Umdah fi Tashih al-Niyyah, al-Rawdhah, al-Idhah, al-Tahqiq dan karya monumentalnya yaitu Minhaj al-Talibin.[18]
  2. Dalam bidang Hadis, antara lain: Syarh Kitab Hadis Sunan al-Baghwy dan Daruquthni, al-Arba`in (40 Hadis), al-Azkar, al-Irsyad, al-Isyarah ila al-Mubhamat (tentang Hadis-Hadis yang diragukan), Khulasah fi al-Hadis, al-Minhaj fi Syarh Shahih Muslim (tentang kitab Hadis), Riyadh al-Shalihin, Syarh Shahih Muslim, Tahrir al-Tawbih, al-Taqrib wa al-Taysir li Ma`rifah Sunan al-Nasyir al-Nazir, al-Tibyan fi Adab Hamlah al-Qur`an (tentang Ilmu Hadis), dan `Ulum al-Hadis.
  3. Bidang pendidikan, etika, biografi, sejarah,  dan bahasa yaitu: Adab Hamalah al-Qur`an, Bustan al-`Arifin, Tahzib al-Asma` wa al-Lughat, Thabaqat al-Fuqaha`, Tahzizb al-Asma` wa al-Lughat (bagian kedua), dan Tahrir al-Tanbih.



C.  Sistematika Penulisan Kitab Minhaj al-Talibin
            Sebelum beranjak kepada pembahasan metode yang digunakan al-Nawawi dalam mentarjih pendapat-pendapat mazhab Syafi`i. Penulis menjelaskan tentang sistematika pembahasan yang digunakan al-Nawawi dalam kitab Minhaj al-Talibin,  di mana sistematika ini sangat penting untuk diketahui dan dipahami bagi mereka yang mempelajari dan meneliti kitab tersebut, sebagaimana tertera dalam muqaddimah khutbah-nya. Adapun sistematika penulisannya dapat disebutkan sebagai berikut:
1.        Membuat Ringkasan (ikhtisar).
            Langkah pertama yang ditempuh oleh al-Nawawi adalah meringkaskan (ikhtisar) terhadap uraian-uraian dalam setiap permasalahan yang dibahas dengan tujuan mudah dihafal dan difahami. Ringkasan yang dilakukan oleh al-Nawawi adalah tidak mengurangi maksud-maksud yang tertera di dalam kitab al-Muharrar yang merupakan buah karya al-Rafi`i.[19] Di samping itu al-Nawawi memasukkan atau melakukan penambahan-penambahan dalam bentuk pemahaman ke dalam pembahasannya yang dianggap nafa-is al-mustajadat (masalah-masalah yang urgen). Penambahan ini lebih kurang ada tiga perempat dari kitab dasarnya (al-Muharrar).
2.        Penjelasan dan Komentar pada Sebagian Permasalahan.
            Dalam kitab al-Muharrar yang merupakan kitab dasar bahwa penjelasan dan komentar terhadap teks yang disampaikan tidak ditulis. Hal ini karena penjelasan tersebut dicantumkan dalam kitab-kitab yang besar dan luas uraiannya (al-mabsutat). Sementara dalam Minhaj al-Talibin, al-Nawawi menyebutkan berupa komentar dan penjelasannya dalam sebagian masalah.[20]
3.        Penjelasan Masalah yang Berbeda dengan Al-Muharrar.
            Al-Nawawi melalui kitabnya Minhaj al-Talibin memberitahukan bahwa ada lima puluh tempat atau masalah yang berbeda dengan al-Muharrar. Di mana al-Muharrar menganggap bahwa pendapat-pendapat tersebut merupakan pendapat yang rajih atau terpilih (al-mukhtar) dalam mazhab Syafi`i. Sementara al-Nawawi mentarjihkan kebalikannya. Perbedaan tarjih antar kedua mujtahid ini dikarenakan perbedaan pandangan ijtihad dan analisa yang mereka gunakan dalam memahami ungkapan-ungkapan Imam syafi`i dan ashab-nya (sahabat-sahabat).
4.        Mengubah Teks-teks yang Sulit dalam al-Muharrar.
            Dalam Minhaj al-Talibin, al-Nawawi mengemukakan bahwa mengubah lafaz-lafaz (teks) yang sulit (gharib) atau sukar difahami  (muwahhaman). yang terdapat dalam kitab al-Muharrar. Yaitu menukarkannya dengan ungkapan-ungkapam yang mudah difahami. Sehingga lafaz-lafaz itu dapat difahami maknanya dengan mudah oleh kalangan awam pada umumnya, dan kalangan penganut mazhab Syafi`i pada khususnya yaitu bagi mereka yang baru belajar (mubtadi`).
5.        Istilah-istilah yang dikenal dalam Kitab Minhaj al-Talibin.
            Sistematika selanjutnya yang ditempuh dalam pembahasan ini adalah memakai istilah-istilah (kode-kode) terhadap pendapat Imam Syafi`i dan sahabat-sahabatnya. Hal ini dilakukan untuk membedakan antara pendapat keduanya. Sehingga tidak terjadi percampur-adukan antara pendapat al-Syafi`i dengan sahabat-sahabatnya. Sementara dalam al-Muharrar istilah dan sistematika seperti ini tidak dilakukan.
a.    Qawlayni (Dua Pendapat atau Beberapa Pendapat Al-Syafi`i).
            Pengertian Qawlayni di sini adalah Dua Pendapat atau Beberapa Pendapat dari Al-Syafi`i yang diucapkan secara langsung tanpa ada intervensi pendapat para sahabat Syafi`i.  Al-Nawawi memakai istilah ini untuk perkataan atau pendapat Imam Syafi`i selaku mujtahid mutlaq. Istilah ini terbagi kepada dua macam yaitu: al-Azhar dan al-Masyhur. Pertama, al-Azhar. Yang dimaksud dengan al-azhar adalah Pendapat yang kuat khilaf-nya  (lawan yang kuat) dikarenakan lawannya memiliki dalil-dalil dan argumentasi yang kuat.[21] Sementara lawannya disebut dengan  Muqabil al-azhar atau Khilaf al-azhar al-marjuh (lemah) yakni pendapat yang hampir tidak dapat dibedakan dengan pendapat al-azhar. Karena dalil-dalil dan argumentasi keduanya hampir seimbang, hanya orang berkapasitas tertentu yang mampu membedakan kedua pendapat tersebut yakni rajih (kuat) dan marjuh (lemah). Dari sini dapat dipahami bahwa pendapat al-zhar adalah pendapat yang terkuat dalil-dalil dan hujjahnya (argumentasi). Sementara muqabil-nya (lawan) adalah dalil-dalil dan hujjahnya sedikit lebih rendah kuantitas atau kualitas di bawah pendapat al-azhar. Kedua, al-Masyhur, yang dikatakan dengan al-Masyhur adalah Pendapat yang lemah khilaf-nya (lawan yang lemah) disebabkan lawannya memiliki dalil-dalil dan argumentasi yang lemah (da`if mudrak).[22] Untuk membedakan pendapat al-azhar dengan al-masyhur adalah memperhatikan kepada lawan-lawannya (muqabil). Jika lawannya memiliki dalil-dalil dan argumentasi yang kuat maka dikategorikan ke dalam pendapat al-azhar dan sebaliknya jika lawannya memiliki dalil-dalil dan argumentasi yang lemah (da`if) maka dinamakan pendapat al-masyhur.
b.   Al-Wajhayni  (Dua Pendapat atau Beberapa Pendapat Sahabat-sahabat al-Syafi`i).
            Al-Wajhaini adalah Dua pendapat atau beberapa pendapat hasil ijtihad sahabat-sahabat al-Syafi`i yang mereka pahami dari ucapan al-Syafi`i. Istilah ini di kategorikan  ke dalam dua bagian yaitu: al-asah dan al-Sahih. [23] Pertama, al-Asah. Al-Asah adalah Pendapat sahabat-sahabat al-Syafi`i yang mereka fahami dari ucapan sang imam serta kuat khilaf-nya  (lawan yang kuat) dikarenakan lawannya memiliki dalil-dalil dan argumentasi yang kuat. Sementara lawannya (muqabil) disebut muqabil al-Asah atau Khilaf al-Asah.[24] Dari sini dapat dipahami bahwa pendapat al-asah adalah pendapat para sahabat al-Syafi`i yang mereka fahami dari ucapan imamnya yang memiliki dalil-dalil dan argumentasi yang sangat kuat. Sedangkan lawan al-asah (muqabil)-nya memiliki dalil-dalil dan argumentasi yang kuat tetapi di bawah mutu al-asah. Kedua, al-Sahih. Al-Sahih adalah Pendapat para sahabat al-Syafi`i yang mereka fahami dari kaidah-kaidah sang imamnya hanya saja lemah khilaf-nya (lawan yang lemah) disebabkan lawannya memiliki hujjah dan dalil-dalil yang lemah.[25] Dalam hal ini al-Nawawi membedakan ungkapan qawlayni dengan wajhayni sebagai kehormatan dan kemuliaan bagi imam al-Syafi`i.[26]
c.    Al-Tariqayni
            Al-Tariqayni atau al-Turuq adalah perbedaan pendapat (ikhtilaf) para sahabat al-Syafi`i dalam menetapkan atau menentukan al-madhhab (pendapat terkuat).[27] Sebagian para sahabat menetapkan dalam suatu kasus bahwa itu adalah pendapat al-Syafi`i atau pendapat para sahabatnya yang terdahulu (senior). Sementara para sahabatnya yang lain  memutuskan (qata`) sebagai al-madhhab adalah hanya pada salah satu keduanya yakni dalam suatu kasus adalah pendapat al-Syafi`i bukan pendapat para sahabatnya. Atau dalam suatu masalah adalah pendapat para sahabat al-Syafi`i bukan pendapat imamnya. (n al-Syafi`i. Pendapat Imam Syafi`i atau pendapat sahabat-sahabatnya. Kemudian ditetapkan sebagai pendapat terkuat (al-rajih) di sisi al-Nawawi adalah pendapat yang diberi nama (kode) dengan al-Madhhab.[28]
d.   Al-Nas
            al-Nas adalah Nas al-Syafi`i yang merupakan pendapat rajih (terkuat). Sementara lawannya  (muqabil) diistilahkan dengan wajhun da`if  (pendapat lemah) atau qawlun Mukharraj (pendapat yang keluar) dari kaidah-kaidah al-Syafi`i.[29] Kedua lawan ini dianggap oleh al-Nawawi sebagai pendapat lemah yang tidak boleh diamalkan.
e.    Al-Jadid (Pendapat Baru Imam al-Syafi`i)
            Al-jadid adalah pendapat atau hasil ijtihad Imam al-Syafi`i yang difatwakannya  di Mesir. Sementara lawannya (muqabil) disebut dengan al-qadim, yaitu Pendapat atau hasil ijtihad Imam al-Syafi`i yang dicetuskannya di Iraq. Dalam hal ini yang rajih menurut al-Nawawi adalah pendapat Imam al-Syafi`i yang Jadid. Kecuali pada kasus-kasus tertentu, sehingga pendapat al-qadim yang rajih. Seperti kasus waktu shalat maghrib, menurut pendapat qadim waktunya yaitu mulai terbenam sampai hilang syafaq merah. Sementara pendapat al-jadid waktunya adalah  mulai terbenam matahari sampai kira-kira cukup waktu untuk berwudhu` yaitu dengan jalan menutup aurat, azan, dan qamat serta mengerjakan shalat lima rakaat (maghrib dan sunat ba`diyah) yang dikerjakan secara wajar dan tidak tergesa-gesa.[30] Di samping kasus di atas ada beberapa kasus lainnya oleh al-Nawawi mentarjih pendapat qawl al-qadim dengan jalan memenangkan pendapat al-qadim sebagaimana akan penulis rincikan kasus-kasus yang dimaksud dalam lampiran setelah Bab Empat.
f.     Qila Kadha atau Qawlun Kadha
            Bila al-Nawawi mengungkapkan qila kadha (dikatakan demikian) maka itu adalah pendapat da`if (lemah). Dan lawannya disebut dengan al-sahih atau al-asah (pendapat terkuat). Sementara itu bila al-Nawawi mengungkapkan kata fi qawlin kadha (pada pendapat demikian), maka lawannya adalah al-rajih (pendapat terkuat).
6.        Masalah-masalah Urgen (nafisah) dalam Minhaj al-Talibin
            Sistematika selanjutnya yang ditempuh al-Nawawi dalam penulisan kitab Minhaj al-Talibin adalah mencantumkan masalah-masalah yang halus atau urgen (nafisah) ke dalam kitabnya. Di mana menurut al-Nawawi pencantuman itu harus dilakukan, karena bila tidak dilakukan akan menimbulkan kekurangan dalam susunan redaksi dan pemahamannya.[31]
7.        Ungkapan Qultu dan Wallahu `A`lam 
Al-Nawawi dalam kitab Minhaj-nya terkadang ketika membahas dan menuntaskan sesuatu masalah mengawali dengan ungkapan Qultu (saya katakan) dan mengakhirinya dengan ungkapan Wallahu `A`lam. Sementara dalam al-Muharrar, al-Rafi`i tidak menggunakan ungkapan tersebut. Hal dilakukan untuk membedakan pembahasan antara kitab keduanya.[32]
Memperhatikan beberapa sistematika yang disampaikan oleh al-Nawawi sebagaimana tersebut di atas, dapat penulis simpulkan ada beberapa prinsip-prinsip pokok yang digunakannya dalam mentarjihkan pendapat-pendapat Imam Syafi`i dan ashab (sahabat-sahabat) nya. Adapun prinsip-prinsip yang dimaksud adalah sebagai berikut: pertama, menggunakan  Istilah-istilah tertentu dalam mengungkapkan Pendapat-pendapat Imam Mazhabnya. Kedua, untuk menetapkan rajih tidaknya sesuatu pendapat, al-Nawawi memperhatikan kuatnya `illat yang dikemukakan oleh masing-masing pendapat. Ketiga, untuk mengukur rajih tidak nya sesuatu pendapat harus mempertimbangkan sisi lain yaitu tujuan dan manfaat (maslahat).

D.  Metode Tarjih Imam al-Nawawi
Metode yang digunakannya dalam men-tarjih pendapat-pendapat tersebut adalah metode bayani (penalaran kebahasaan) atau kaidah-kaidah kebahasaan. Dalam penalaran ini al-Nawawi menitik beratkan pada makna setiap lafadz yang terdapat dalam al-Qur`an maupun Hadis. Sebagaimana terdapat pada kasus  muwalah (beriring-iring) dalam berwudhuk.      Dalam kasus ini al-Nawawi men-tarjih pendapat al-Jadid (pendapat baru) al-Syafi`i yang menyebutkan bahwa muwalah hukumnya sunnah.[33]
Dari segi pemahaman terhadap teks al-Qur`an maupun Hadis, al-Nawawi menggunakan beberapa kaidah kebahasaan seperti dalam kasus muwalah ini.  Di mana ia beragumentasi bahwa ayat tersebut tidak menyebutkan adanya perintah muwalah secara langsung dan tegas sekalipun dengan menggunakan huruf  "waw" tidak berarti harus beriring-iring atau berturut-turut.
Demikian juga al-Nawawi menggunakan beberapa Hadis tentang tidak wajibnya muwalah dalam wudhu`. Di mana secara teks Hadis-Hadis tersebut jelas tidak menunjukkan adanya perintah tegas muwalah. Sebagaimana Hadis yang diriwayatkan oleh Jarir ibnu Hazim dari Qatadah dari Anas bin Malik bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW sedang orang itu sudah berwudhu` dan tertinggal (tidak terbasuh) di belakang kakinya sebesar kuku ketika Nabi SAW melihat itu beliau tidak memerintahkan orang tersebut untuk mengulangi wudhu` dari awal tetapi beliau memerintahkan untuk memperbaiki wudhuknya. Ini menunjukkan bahwa muwalah dalam wudhuk bukan suatu perintah wajib melainkan sunat.
Di samping metode bayani yang digunakan al-Nawawi dalam mentarjihkan pendapat al-Jadid al-Syafi`i ini, ia juga memakai metode ta`lili atau penalaran ta`lili. Penalaran ini didasarkan pada suatu anggapan bahwa segala ketentuan yang diturunkan Allah SWT guna mengatur perilaku manusia mempunyai alasan logis atau tujuan yang ingin dicapai. Tugas mujtahid di sini adalah mencari `illat yang tersembunyi di dalam nas, sehingga dapat dikeluarkan produk hukum.
Al-Nawawi dalam masalah ini melihat kepada `illat diperintahkan wudhu` ketika hendak mendirikan shalat oleh Allah adalah untuk bersuci sehingga dapat melakukan perbuatan atau pekerjaan yang diwajibkan oleh syari`at di mana perbuatan tersebut tidak sah tanpa bersuci. Bersuci atau berwudhu dapat terealisasi dengan melakukan pekerjaan yang telah diperintahkan oleh al-Qur`an dan Hadis untuk melakukannya yakni: berniat, membasuh muka, membasuh tangan hingga siku-siku, menyapu kepala, membasuh kaki dan tertib. Selain dari pekerjaan tersebut maka dianggap itu bukan pekerjaan pokok dalam wuduk.
Sementara ada dalil nas yang tidak secara tegas memerintahkan untuk dikerjakan atau perbuatan Nabi SAW yang sekali-kali ditinggalkannya maka hal itu masuk ke dalam kategori sunat, seperti halnya membasuh pergelangan tangan, berkumur-kumur, memasukkan air ke hidung, dan muwalah.
Alasan lain yang digunakan al-Nawawi untuk mentarjihkan pendapat salah mazhab Syafi`i adalah dengan menggunakan metode istislahi atau penalaran istislahi. Yaitu pola penalaran dengan mendeduksi tujuan-tujuan umum dari pensyari`atan wudhuk untuk ibadah atau shalat. Metode ini tidak langsung merujuk kepada al-Qur`an dan Hadis, melainkan berdasarkan pertimbangan kemasalahatan yang diambil dari prinsip-prinsip dasar kedua sumber tersebut. Tugas mujtahid pada metode ini adalah mencari prinsip-prinsip dasar dalil untuk kemudian diterapkan dalam hukum Islam agar umat Islam dapat memperoleh kemaslahatan berdasarkan hukum tersebut.
Al-Nawawi sangat sependapat yang menyebutkan bahwa hukum-hukum yang disyari`atkan termasuk pensyari`atan wudhuk di samping sebagai ibadah mahdah atau al-amr al-ta`abudi (ibadah vertikal) juga berfungsi sebagai kemaslahatan hamba atau al-amr al-ta`aqquli (ibadah horizontal). Maslahah yang ingin dicapai dalam tasyri`i hanyalah yang bersifat umum (maslahah al-`ammah). Kemaslahatan dalam berwudhuk misalnya adalah bersih lahiriah atau bersih anggota tubuh. Untuk mewujudkan kebersihan yang dimaksud tidak mesti harus berwudhuk secara muwalah.
             
E.  Contoh-contoh Tarjih
1.    Bersambung (Muwalah) dalam Wudhu`
Muwalah adalah mengiringi atau berturut-turut membasuh anggota demi anggota pada saat bersuci yaitu dengan cara: sebelum kering anggota yang pertama dilanjutkan dengan anggota berikutnya, sesuai dengan kondisi udara dan badan. Demikian disebutkan al-Nawawi dalam kitab al-Kifayat.[34] Hal yang sama didefinisikan oleh Al-Sayyid Sabiq Dalam kitabnya Fiqh Sunnah, Muwalah adalah berturut-turut membasuh anggota demi anggota, jangan sampai orang yang berwudhuk itu menyela wudhuknya dengan pekerjaan lain yang menurut kebiasaan dianggap telah menyimpang darinya.[35] Lebih ringkasnya muwalah adalah berturut-turut membasuh dari satu anggota kepada anggota lainnya, sehingga tidak ada waktu untuk menyela dengan pekerjaan lain.
Pendapat Qadim Imam al-Syafi`i menyebutkan bahwa muwalah itu hukumnya wajib.[36] Demikian pula pendapat selain mazhab Syafi`i yaitu pendapat ulama Malikiyah dan Hanabilah.[37] Pendapat Qadim mengemukakan dalil tentang kefardhuannya adalah Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud bersumber dari Chalid bin Ma`dan dari sebagian isteri Nabi SAW, yaitu sebagai berikut:

عن خالد ابن معدن عن بعض ازواجه صلى الله عليه وسلم انه صلى الله عليه وسلم راى رجلا يصلى وفى ظهر قدميه لمعة قدر الدرهم لم يصب الماء فامره ان يعيد الوضوء والصلاة. (رواه ابو داود) [38]

"Dari Khalid bin Ma`dan dari sebagian Isteri Nabi SAW, bahwa Rasulullah SAW melihat seorang laki-laki shalat, sedang pada belakang kakinya ada lapang sebesar dirham yang tidak kena air, maka Nabi SAW memerintahkannya kembali berwudhuk dan shalat." (HR. Abu Daud).
           
Sementara pendapat Jadid Imam al-Syafi`i menyebutkan bahwa muwalah hukumnya adalah sunnah.  Pendapat ini mengemukan hujjahnya sebagai berikut:
a.    Al-Qur`an .
Dalam surat al-Maidah ayat 6 Allah berfirman:

يا ايها الذين امنوا اذا قمتم الى الصلاة فاغسلوا وجوهكم وايديكم الى المرافق فامسحوا برؤوسكم وارجلكم الى الكعبين... (المائدة: 6)

"Wahai orang-orang yang beriman apabila kamu hendak mendirikan shalat, maka basuhlah muka dan telapak tanganmu hingga siku-siku, dan sapulah kepala dan kakimu hingga mata kaki". (Q.S.Al-Maidah: 6)

Secara lahiriyah (teks) ayat ini tidak menyebutkan adanya perintah muwalah. Di samping ayat tersebut menggunakan huruf  "waw" sebagai `ataf-nya, dan itu dimungkinkan dibasuh  dan disapu beriring-iring atau tidak beriring-iring.[39]
b.    Al-Hadis.
عن ابن عمر رضى الله عنهما انه توضا فى السوق الا رجليه ثم دعى لجنازة فدخل المسجد ثم مسح على خفيه بعد ماجف وضوؤه وصلى. (رواه مسلم) [40]

"Dari Ibnu `Umar RA, bahwasanya ia berwudhuk di pasar kecuali dua kakinya, kemudian ia diundang untuk shalat jenazah maka ia masuk ke dalam mesjid membasuh sepatunya setelah kering air wudhuknya dan sembahyang ia".

Wajah istidlal (cara memahami dan beragumentasi) Hadis tersebut di atas, menurut pengarang kitab al-Syarqawi, adalah jika damir Hadis di atas muraja`ah (kembali) kepada Nabi SAW, maka hal itu jelas. Tetapi jika damir-nya kembali kepada perawi Hadis pertama yakni Ibnu `Umar maka hal itu tidak bisa menjadi hujjah karena perbuatan sahabat, namun dapat menjadi hujjah manakala dikerjakan perbuatan tersebut di hadapan para sahabat lainnya, serta salah seorang dari mereka tidak membantah atau mengingkari, dan ini disebut ijma` Sukuti.[41]
2.    Waktu Shalat Maghrib
Adapun mengenai waktu-waktu shalat fardhu disebutkan dalam beberapa Hadis Nabi SAW. Di antaranya adalah Hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari `Abdullah bin `Umar, sebagai berikut:

عن ابن عمر رضى الله عنهما قال: ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: وقت الظهر اذا زالة الشمس وكان ظل الرجل كطوله مالم يحضرالعصر. و وقت العصر مالم تصفر الشمس. و وقت صلاة المغرب مالم يغب الشفق. و وقت صلاة العشاء الى نصف الليل الاوسط. و وقت صلاة الصبح من طلوع الفجر مالم تطلع الشمس فاذا طلعت الشمس فامسك عن الصلاة فانها تطلع بين قرنين شيطان. (رواه مسلم). [42]   

"Dari Ibnu `Umar RA ia berkata: Bahwa Nabi SAW bersabda: Waktu dhuhur ialah bila matahari telah tergelincir sampai bayang-bayang seseorang itu sama panjang dengan badannya, yakni sebelum datang waktu Ashar. Dan waktu Ashar ialah sampai matahari belum lagi kuning cahayanya. Waktu shalat Maghrib  ialah selama syafaq atau awan merah belum lagi senyap. Waktu Isya` sampai tengah malam kedua, sedang waktu shalat subuh mulai terbit fajar sampai terbitnya matahari. Jika matahari telah terbit, maka berhentilah shalat, karena ia terbit di antara kedua tanduk syetan." (HR. Muslim).
               
Dari Hadis tersebut di atas ternyatalah bahwa shalat lima waktu mempunyai waktu tertentu yang telah ditetapkan oleh syari`at. Ketentuan waktu ini tidak boleh diubah, karena merupakan sebagai ma`lum min al-din bi al-darurah atau diketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari keislaman seseorang. Di samping Hadis di atas, banyak Hadis-Hadis lain yang menjelaskan tentang ketentuan waktu-waktu shalat, namun penulis hanya membatasi pada satu Hadis saja.
Hadis tersebut menjelaskan pula tentang ketentuan awal waktu dan akhir waktu bagi shalat lima waktu. Tetapi mengenai shalat maghrib hanya menyebutkan awal waktu yaitu terbenamnya matahari, dan waktu ini tidak terjadi khilaf (beda pendapat) antara qadim dan jadid serta pendapat-pendapat ulama lainnya di luar mazhab Syafi`i.  Mengenai hal ini Imam al-Syafi`i mempunyai dua pendapat tentang waktu shalat maghrib, yaitu pendapat qadim dan pendapat jadid.          
Pendapat qadim Imam Syafi`i menyatakan bahwa waktu shalat maghrib adalah mulai terbenam matahari sampai hilang syafaq (mega) merah di langit.[43] Pendapat yang sama dikemukakan oleh Abu Hanifah, Ahmad, Abu Tsur, dan Daud al-Zahiri.[44] Adapun Pendapat jadid menyebutkan bahwa waktu shalat maghrib adalah mulai terbenam matahari sampai kira-kira cukup waktu untuk berwudhu` yaitu dengan jalan menutup aurat, azan, dan qamat serta mengerjakan shalat lima rakaat (maghrib dan sunat ba`diyah) yang dikerjakan secara wajar dan tidak tergesa-gesa.[45]
Untuk mendukung pendapatnya, qadim mengemukakan beberapa argumentasi di antaranya:
a.    Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu `Umar.

عن ابن عمر رضى الله عنهما قال: ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:   وقت صلاة المغرب اذا غابت الشمس مالم يسقط الشفق. (رواه مسلم) [46]                         
"Dari Ibnu `Umar Ra, ia berkata: Bahwa nabi SAW bersabda: Waktu shalat Maghrib ialah bila matahari terbenam syafaq belum lenyap." (HR. Muslim).

b.   Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Musa al-`Asy`ari:

عن ابى موسى الاشعرى قال: ان سائلا سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن مواقت الصلاة, فذكر الحديث, وفيه فامره فاقام المغرب حين وجبت الشمس, فلما كان اليوم الثانى قال: ثم اخر حتى كان عند سقوط الشفق ثم قال الوقت ما بين هذين.(رواه مسلم) [47]

" Dari Abi Musa al-Asy`ari ia berkata: Bahwa seseorang menanyakan kepada Nabi SAW tentang waktu-waktu shalat, maka Nabi SAW membacakan Hadis (waktu-waktu shalat). Di sana juga disebutkan: " maka disuruhnya orang itu shalat, lalu shalat maghriblah ia ketika matahari terbenam. Dan pada hari berikutnya, katanya: Kemudian diundurkan oleh Nabi SAW sampai dekat hilangnya Syafaq serta sabdanya: " Waktunya terdapat di antara kedua waktu ini!." (HR. Muslim).

Dari kedua Hadis tersebut di atas serta beberapa Hadis lainnya yang tidak penulis sebutkan dalam tulisan ini menunjukkan bahwa waktu shalat maghrib adalah mulai terbenam matahari sampai hilangnya syafaq merah di langit.
            Sementara pendapat jadid al-Syafi`i mengemukakan argumentasinya untuk menetapkan waktu shalat Maghrib yaitu Hadis mengenai Jibril ketika menjadi imam shalat, sebagaimana berikut ini:

عن ابن عباس قال: انه صلى المغرب با النبى عليه الصلاة والسلام فىاليومين في وقت واحد...( رواه مسلم) [48]

" Dari Ibnu `Abbas RA ia berkata: Bahwasanya malaikat Jibril shalat Maghrib bersama Nabi SAW selama dua hari hanya satu waktu saja." (HR. Muslim)
           
Dari Hadis di atas dapat dipahami bahwa waktu maghrib hanya terdiri dari satu waktu saja atau waktu sempit (al-waqt al-mudayyaq). Berbeda dengan Hadis yang dikemukakan oleh qawl qadim yang menyebutkan waktu maghrib sampai hilang syafaq merah atau memiliki waktu yang luas (al-waqt al-muwassa`).
Memperhatikan argumentasi dan dalil-dalil dari masing-masing pendapat di atas, Imam al-Nawawi mentarjihkan pendapat qawl qadim,[49] dengan ungkapannya:

قلت القديم اظهر والله اعلم.[50]

"saya katakan pendapat qadim yang lebih jelas (kuat) Wallahu `A`lam."

Sekalipun dalam kebanyakan pendapat Syafi`i, selalu dimenangkan oleh pendapat jadid al-Syafi`I, kecuali ada beberapa masalah yang dimenangkan pendapat qadim al-Syafi`I, termasuk salah satunya adalah masalah waktu shalat maghrib. Imam al-Nawawi mengatakan dalam Syarah Muslim: Para penyelidik atau pentahqiq di kalangan sahabat-sahabat kita mentarjihkan (menguatkan) pendapat boleh menunda shalat maghrib hingga sebelum terbenam syafaq, pendapat tersebut adalah sahih dan betul tidak lainnya.  Adapun mengenai Hadis Jibril AS menjadi imam shalat selama dua hari dalam waktu yang satu ketika terbenam matahari, itu menunjukkan sunat menyegerakan shalat maghrib pada awal waktunya.[51]
Bahkan dalam kitabnya yang lain al-Nawawi mengatakan bahwa dalil-dalil yang diajukan oleh qawl al-qadim adalah dalil-dalil atau Hadis Sahih, dan bila ada pentakwilan atau penafsiran terhadap Hadis-Hadis ini, maka dianggap lemah (mencari-cari alasan). Pendapat inilah yang dipilih oleh sahabat-sahabat Syafi`iyah, seperti: Ibnu Khuzaimah, al-Khaththabi, al-Baihaqy (w. 458 H), al-Ghazaly (w. 505 H) dalam Ihya` nya, al-Baghwy (w.510 H) dalam al-Tahzib nya, dan lain-lain.[52] Demikian pula bahwa Hadis Jibril menjadi imam asbab al-wurud-nya adalah di Makkah, sementara Hadis Buraidah tentang pertanyaan seorang laki-laki kepada Nabi SAW mengenai waktu-waktu shalat asbab al-wurud adalah di Madinah. Maka mendahulukan Hadis Buraidah di Madinah lebih utama.[53] Karena Hadis yang muncul di Madinah adalah Hadis-Hadis hukum, sementara Hadis yang timbul di Mekkah lebih banyak tentang akidah atau iman.

3.        Zakat Perdagangan (`Urudh al-Tijarah)
Berdagang menurut pengertian sebagian ulama fiqih, adalah mencari kekayaan dengan tukarannya kekayaan. Sedangkan kekayaan dagang adalah segala yang diperuntukkan untuk diperjual-belikan dengan maksud untuk mencari kekayaan tersebut. Menurut sebagian lain, kekayaan dagang adalah segala yang dimaksudkan untuk diperjual belikan dengan maksud untuk mencari keuntungan.[54] Adapun landasan kewajiban zakat perdagangan adalah, sebagai berikut:
a.    Landasan al-Qur`an. Firman Allah SWT, QS. Al-Baqarah/2:267:

يا ايها الذين امنوا انفقوا من طيبات ما كسبتم ومما اخرجنا لكم من الارض ...                         

Hai orang-orang yang beriman nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kamu keluarkan dari bumi untukmu…

Imam Tabari menafsirkan ayat tersebut, yaitu pada kalimat ”ما كسبتم" dengan usaha dagang. Demikian pula pendapat Hasan dan Mujahid. Imam Zarkasyi dalam kitabnya Ahkam al-Qur`an menyebutkan bahwa maksud dengan kalimat “sebagian dari usahamu yang baik-baik” adalah hasil perdagangan.[55] Ayat di atas secara umum memberlakukan zakat pada semua jenis kekayaan, oleh karena pengertian  ma kasabtum  menjangkau semua kekayaan tanpa membatasi atau mengecualikannya termasuk di dalamnya kekayaan hasil usaha dagang.
b.    Landasan al-Sunnah.
Sebagian besar para sahabat dan tabi`in begitupun para fuqaha setelah mereka berpendapat tentang wajibnya zakat pada harta perniagaan, karena berdasarkan Hadis berikut ini, yaitu:

عن سمرة بن جند ب قال : اما بعد,  فان رسول الله كان يأمرنا ان نخرج الصدقة من الذي نعده للبيع. (رواه ابو داود)

Dari Samurah bin Jundub, ia berkata: "…Amma ba`du, sesungguhnya Nabi SAW menyuruh kami mengeluarkan zakat dari barang-barang yang kami persiapkan untuk perdagangan.(HR, Abu Daud)[56]
Adapun mengenai Syarat wajib zakat pada harta kekayaan dagang adalah al-hawl  (setahun) dan al-nisab (ukuran atau kadar wajib zakat).[57] Semua mazhab sepakat bahwa syaratnya harus mencapai satu tahun. Untuk menghitungkannya pertama-tama harta tersebut diniatkan untuk berdagang. Apabila telah mencapai satu tahun penuh dan memperoleh keuntungan, maka wajib ia dizakati.[58] Perkiraan satu tahun menurut salah satu pendapat mazhab Syafi`i adalah pada akhir tahun[59] bukan dari awal, pertengahan atau awal dan akhir tahun atau dari pertengahan dan akhir tahun. Pendapat yang senada dikemukakan oleh mazhab Hanbali. Maka kalau seseorang tidak memiliki modal dan laba yang mencapai nisab pada awal tahun, juga pertengahannya, tetapi pada akhir tahun sudah mencapai nisab, maka ia wajib zakat.
            Sementara qawl (pendapat) lain dalam mazhab Syafi`i bahwa perkiraan satu tahun adalah awal dan akhir tahun bukan pertengahannya.[60] Demikian pula pendapat di kalangan mazhab Hanafi.[61] Maka jika seseorang memperoleh laba yang mencapai nisab hanya pada awal, atau akhir atau pertengahan tahun saja, maka tidak dikenai zakat. Jadi harus mencapai nisab pada awal dan akhir tahun. Dalam qawl yang lain pula dari mazhab syafi`i berpendapat bahwa perhitungan nisab harta dagang adalah pada sekalian tahun yakni awal, pertengahan dan akhir tahun.[62]
Alasan dari pendapat yang pertama (perkiraan nisab di akhir tahun) adalah nisab erat sekali kaitannya dengan harga barang tersebut, sedangkan menilai harga barang dagang setiap waktu adalah suatu pekerjaan yang amat sulit. Oleh karena itu masa wajibnya adalah pada akhir tahun yang berlainan dengan masa wajib zakat objek-objek zakat lain karena nisabnya dihitung dari bendanya yang tidak sulit menghitungnya.[63] Jalal al-Din al-Mahalli menambahkan bahwa nisab zakat perdagangan diperkirakan pada akhir tahun, hal ini untuk mempermudah perhitungan dibandingkan bila perhitungan dilakukan pada awal tahun atau setiap waktu karena harga sering terjadi perubahan dan sangat sulit.[64] Dan akhir tahun adalah merupakan waktu wajib zakat.
Adapun alasan pendapat yang kedua (perkiraan nisab awal dan akhir tahun) adalah sama dengan alasan pendapat yang pertama, yaitu bahwa penilaian harga barang pada setiap saat sangat sulit, karena harus diketahui berapa harga setiap barang pada setiap waktu untuk mengetahui apakah nilai harga seluruh barang sudah sampai senisab atau belum. Oleh karena sulitnya, maka perhitungannya dilakukan di awal dan di akhir tahun saja.
Sementara alasan pendapat ketiga yakni perhitungan nisab pada setiap waktu adalah di mana kekayaan dagang adalah kekayaan yang memerlukan perhitungan nisab dan waktu. Oleh karena itu jumlah senisab penuh harus konstan pada setiap waktu, begitu juga ketentuan-ketentuan lainnya yang juga harus konstan setiap waktu tersebut. Ini adalah pendapat Tsawri, Ahmad, Ishaq, Abu `Ubaid, Abu Tsaur, dan Ibnu Munzir.[65]
Imam al-Nawawi dalam hal ini mentarjihkan pendapat pertama yaitu pendapat yang menyebutkan bahwa perkiraan zakat harta perdagangan adalah pada akhir tahun saja. Alasannya karena perhitungan akhir tahun sangat memudahkan, bila dibandingkan dengan perhitungan pada awal dan akhir tahun, apalagi bila perhitungan dilakukan setiap saat. Al-Nawawi menggunakan ungkapan terhadap pendapat rajih ini dengan al-Rajih, sementara dua pendapat yang merupakan lawan (muqabil)-nya distilahkan dengan fi qawl kaza aw aqwal (dalam suatu pendapat atau beberapa pendapat).
4.    Zihar
Zihar di ambil dari kata "al-zahr" yang bermakna punggung atau belakang. Dikhususkan dengan al-zahru (punggung) karena ia adalah tempat berkenderaan, dan isteri adalah kenderaan suami.[66] Sedangkan zhihar menurut syara` adalah perkataan seorang suami kepada isterinya: "anti `alayya ka zahri ummi" (engkau tampak olehku seperti punggung ibuku). [67] Para ulama mazhab sepakat bahwa, apabila seorang laki-laki mengatakan hal seperti itu kepada isterinya, maka laki-laki itu tidak halal lagi mencampuri isterinya sampai ia memerdekakan seorang budak.[68]Zihar ini pada zaman jahiliyah dianggap menjadi talak, kemudian diharamkan oleh Islam serta diwajibkan membayar kafarat.
            Adapun hukum zihar adalah al-Qur`an, Hadis dan Ijma` ulama. Keharaman zihar menurut al-Qur`an yaitu berdasarkan firman Allah SWT surat al-Mujadalah: 2, yaitu:

الذين يظاهرون منكم من نساءهم ما هن امهاتهم ان امهاتهم الا الئ ولدن نهم وانهم ليقولون منكرا من القول وزورا...

"Orang-orang yang men-zihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta". (al-Mujadalah: 2).

Dalam ayat ini zihar diharamkan, karena Allah menyebutkan dan menamakan pelakunya sebagai orang yang munkar dan dusta.[69] Sementara dasar hukum zihar menurut Hadis adalah Hadis Khawlah Binti Malik bin Tha`labah yaitu sebagai berikut:

عن خولة بنت مالك بن ثعلبة قالت: ظاهر منى زوجى اويس بن الصامت, فجئت رسول الله صلى الله عليه وسلم اشكوا اليه,ورسول الله يجادلنى فيه ويقول: اتقى الله فانه ابن عمك, فما خرجت حتى انزل الله ( قد سمع الله قول التى تجادلك     فى زوجها ... الا ية ((المجادلة: 1). فقال: ليعتق رقبة , قالت: لا يجد, قال: فيصوم شهرين متتابعين , قالت: يا رسول الله انه شيخ كبير مابه من صيام , قال: فليطعم ستين مسكينا, قالت : ما عنده من شئ يتصدق به... الحديث. ((رواه ابو داود)

Dari Khawlah binti Malik bin Tsa`labah ia berkata: Suamiku Uwais bin Samit men-zihar diriku, maka aku mengadu kepada Nabi SAW, lalu Nabi SAW mendakwa diriku sambil berkata: bertakwalah kepada Allah, karena ia (Samit) adalah anak pemanmu, lalu aku tidak keluar rumah sehingga turunlah ayat:... (al-Mujadalah:1). Nabi SAW berkata: hendaklah ia memerdekakan hamba sahaya, Khawlah menjawab: ia tidak sanggup. Nabi SAW berkata: handaklah berpuasa dua bulan berturut-turut, Khawlah menjawab: ia lelaki yang sangat tua tidak sanggup untuk berpuasa, Nabi SAW berkata: hendaklah memberi makanan enam puluh orang fakir miskin, Khawlah menjawab: tidak ada sesuatu apapun yang dapat ia bersedekah... Al-Hadis. (HR. Abu Daud).[70]
             
Adapun yang menjadikan dasar hukum zihar adalah ijma` ulama di samping ayat dan Hadis yang telah tersebut di atas.[71] Telah sepakat para ulama bahwa zihar diharamkan oleh Allah karena telah mengharamkan sesuatu di mana Allah SWT telah menghalalkannya. Hal ini seperti menggantikan hukum atau syari`at dari halal menjadi haram atau sebaliknya, dan itu sangat di cela dalam Islam.
Dalam masalah zihar ini yang menjadi titik pembahasan penulis adalah mengenai ucapan-ucapan (lafaz) yang digunakan sehingga dikategorikan ke dalam makna zihar. Sebab ayat al-Qur`an hanya menyebutkan secara umum, sementara Hadis Nabi SAW menyebutkan zihar terbatas pada kata "punggung" (zahru). Para ulama sepakat bahwa seseorang yang mengatakan kepada isterinya dengan ucapan " anti `alayya ka zahri ummi" (engkau tampak olehku seperti punggung ibuku) maka itu adalah zihar.[72] Tetapi para ulama khususnya dalam mazhab (qawl) al-Syafi`i berbeda pendapat mengenai kata selain dari "punggung"  seperti badan, kaki dan tangan, apakah dianggap zihar atau bukan.
            Pendapat pertama al- Azhar al-Syafi`i menyebutkan bahwa ucapan seorang suami kepada isterinya " anti `alayya ka yadiha aw batniha aw sadriha" (engkau tampak olehku seperti tangan, atau perut, atau dada ibuku) maka itu termasuk zihar. Demikian pula ucapan "anti `alyya ka `aini ummi" (engkau tampak olehku seperti mata ibuku) dianggap zihar bila diniatkan zihar. Tetapi bila diniatkan sebagai kemuliaan maka tidak termasuk zihar.[73] Sementara pendapat kedua (al-thany) al-Syafi`i mengenai ucapan tersebut itu tidak dianggap zihar, karena semua anggota tubuh tersebut bukan makna zihar yang dimaksudkan oleh para ahli hukum masa jahiliyyah yakni talak. Maka dibatalkan oleh Allah SWT hukumnya tidak surahnya (zihar), sebagaimana firman Allah tersebut di atas.[74]
Perbedaan pendapat tersebut karena perbedaan makna zihar yang terdapat dalam ayat al-Qur`an maupun Hadis Nabi SAW. Dimana satu pendapat melihat secara tekstual nas atau makna lahiriah, sehingga cakupan makna zihar hanya terbatas pada lafaz yang terdapat dalam nas yaitu makna khas (khusus) yakni "punggung". Sementara pendapat lain makna zihar adalah mencakup seumpama badan, tangan, perut, dada dan lain-lain. Sehingga apapun yang terucap dari suami kepada isterinya seperti ucapan tersebut di atas dikategorikan ke dalam makna zihar.[75]
            Dalam pembahasan ucapan zihar, al-Nawawi menggunakan beberapa istilah untuk pendapat rajih (kuat) dalam mazhab al-Syafi`i, seperti al-azhar dan lawannya, al-asah beserta lawannya. Mengenai masalah zihar, al-Nawawi mentarjihkan pendapat mazhab al-Syafi`i yang menyebutkan bahwa: seumpama tubuh, tangan, perut, dada dan sebagainya adalah zihar.                                        
Menurut analisa penulis al-Nawawi dalam mentarjihkan pendapatnya mengenai zihar ini ia telah menggunakan metode bayani untuk melihat makna zihar yaitu bahwa cakupan makna zihar tidak hanya terbatas pada pengertian lughawiyah (makna majaz) yaitu pungggung, tetapi nencakup seluruh anggota badan isteri  sebagaimana pembahasan di atas.
            Di samping metode bayani, al-Nawawi menggunakan metode ta`lili yaitu metode `illat. Adapun `illat yang digunakan al-Nawawi untuk keharaman zihar adalah menyerupakan isteri dengan lainnya. Hal ini mencakup penyerupaan isteri dengan ibu kandung suami atau orang yang haram dinikahi. Dan mencakup pula penyerupaan punggung isteri atau anggota tubuh lainnya.
            Adapun metode istislahi yang digunakan al-Nawawi dalam kasus ini adalah untuk menghindari para suami agar tidak terjebak dalam ruang lingkup perkara yang telah diharamkan seperti zihar ini. Memang zihar pada masa jahiliyah dilakukan oleh suami untuk menceraikan isterinya (talaq) atau rasa tidak suka kepada isteri. Dalam konteks sekarang ini, zihar banyak dilakukan oleh suami kepada isterinya sebagai rasa sayang dan cinta kepada isteri, sehingga menyerupai isterinya dengan ibu kandung atau orang yang haram dinikahi. Walaupun dalam konteks yang berbeda namun untuk menghindari dari hal syubhat, para ulama tradisional (klasik) tetap memberlakukan keharaman zihar ini. Apakah para suami mengucapkan lafaz zihar dalam konteks mencintai isterinya atau tidak suka kepada isterinya.
            Dari beberapa contoh tarjih Imam al-Nawawi di atas dapat dipahami bahwa ia telah menggunakan beberapa metode dalam pen-tarjih-annya. Yaitu metode bayani (metode kebahasaan), metode ta`lili (metode `illat atau metode qiyasi), dan metode istislahi (kemaslahatan). Melalui metode bayani, al-Nawawi melihat makna-makna nas al-Qur`an atau Hadis yang bersifat umum atau lainnya sehingga perlu dilakukan pentakwilan atau tidak. Demikian pula al-Nawawi menggunakan metode ta`lili, yakni dengan memperhatikan `illat-`illat yang digunakan oleh masing-masing pendapat. Di sini al-Nawawi memilih dan memilah mana `illat yang terkuat untuk dijadikan pendapat yang rajih dalam mazhab al-Syafi`i. Di samping itu al-Nawawi menggunakan metode istislahi yaitu memperhatikan kemaslahat umum (maslahah al`ammah) dengan jalan memilih pendapat yang sesuai dan mendekati dengan kepentingan umum.

F.   Kesimpulan.
Berdasarkan uraian-uraian di atas ada tiga kesimpulan yang dapat disimpulkan, yaitu: pertama, penulisan kitab Minhaj al-Talibin tidak terlepas dari sistematika penulisan yang digunakan al-Nawawi. Di antara sistematika yang dimaksud adalah: sebagai berikut: (1). Ikhtisar, yaitu memperpendek uraian dalam setiap pembahasan agar mudah dipahami dan dihafal. (2). Pengklasifikasian Istilah yakni dalam setiap uraian pendapat mazhab Syafi`i, al-Nawawi memberikan istilah atau nama untuk masing-masing pendapat tersebut. Misalnya al-azhar adalah salah satu pendapat imam al-Syafi`i yang dianggap kuat (rajih), sementara lawan (muqabil)-nya dianggap lemah (da`if). Demikian juga pendapat imam al-Syafi`i lainnya: qawl al-jadid yaitu pendapat Syafi`i di Mesir, dan (muqabil)-nya disebut dengan qawl qadim yaitu pendapat Syafi`i di Iraq. Pemberian istilah untuk masing-masing pendapat dalam mazhab Syafi`i adalah untuk membedakan mana yang tergolong ke dalam pendapat al-Syafi`i sendiri dan pendapat para sahabat Syafi`i.
Kedua, pentarjihan yang dilakukan al-Nawawi dalam kitab tersebut tidak terlepas dari metode istinbat atau ijtihad yang digunakannya dalam membahas dan mentarjih berbagai pendapat mazhab al-Syafi`i. Adapun metode yang digunakannya adalah metode bayani atau pola penalaran bayani  yakni pola penalaran yang tertumpu pada kaidah-kaidah kebahasaan atau pada makna-makna lafaz. Ketiga, metode selanjutnya adalah metode ta`lili atau penalaran ta`lili yaitu  pola penalaran yang tertumpu pada `illat (rasio logis). Pola penalaran ini didasarkan pada suatu anggapan bahwa segala ketentuan yang di turunkan Allah SWT guna mengatur perilaku manusia mempunyai alasan logis (`illat. Melalui penalaran ini al-Nawawi berusaha mengungkapkan `illat masing-masing pendapat mazhab al-Syafi`i, kemudian al-Nawawi menyaring dan meneliti `illat-`illat tersebut selanjutnya ditetapkan pendapat yang rajih berdasarkan kuat tidaknya `illat yang diajukan oleh masing-masing pendapat.



DAFTAR PUSTAKA


Ali Sayyis, Muhammad, Sejarah Fiqih Islam, Jakarta, Pustaka al-Kausar, 2003.
Abbas, Sirajudin, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi'i, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1995.
Al-Suyuti, Jalal al-Din 'Abd Rahman, al-ljtihad al-Radd ‘all man Akhlada ila al-Ard wa. Jahala 'anna at-ljtihadfi Kulli 'Asr Fard, Iskandaria: Muassasah al-Syabab al-Jami'ah, 1985.
al-Zuhaily, Wahbah, Fiqh Islami wa Adillatuhu, jilid I, Bairut: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 1989.
AI-Rafi'i, Muqadimah al-`Aziz ala Syarh al-Wajiz, Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997.
al-Syaraf Nawawi, Abu Zakaria bin Yahya, Minhaj al-Talibin, Bairut: Dar al- Kutub 'al- Ilmiyah, 1998.
Al-Nawawi, Muhyi al-Din, Minhaj al-Talibin wa `Umdat al-Muftin, Bandung: Al-Maarif, t.t.
al-Mahalli, Jalal al-Din. Al-Mahalli, Bandung: syirkah Nur Asia, t.t
al-Qulyubi, Syihab al-Din, Hasyiah Qaliyubi,Surabaya: Syirkah Nur Asia, t.t.
al-Syarqawi, Al-Syarqawi `Ala al-Tahrir,  Jilid.I, Surabaya: Syirkah Bengkul Indah, t.t.
al-Bani, Muhammad Nasiruddin, Sahih Sunan Abu Daud, Riyadh: Maktabah al-Ma`arif, 1998.
Abd al-Baqy, Muhammad Fuad, Sahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, Jilid. I,  Indonesia: Maktabah  Dahlan, 195427.
Al-Halawy, Muhammad Abdul Aziz, Fatwa dan Ijtihad Umar Khaththab (Ensiklopedi Berbagai Persoalan Fiqih), Terj. Zubeir Suryadi Abdullah, Surabaya: Risalah Gusti, 2003.
al-Bajury, Ibrahim, Al-Bajury, Jilid. I, Toha Putra: Semarang, t.t.
Al-Nawawi, Rawdat al-Talibin Wa `Umdat al-Muftin, Juz. I,  Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1991.
Al-Syarqawi, al-Syarqawi `ala al-Tahrir, juz. I, Singapura: Al-Haramain, t.t.
al-Qalyubi, Syihab al-Din, al-Qalyubi,  Semarang, Toha Putra Semarang, t.t.
Al-Syarqawi, Al-Syarqawi `ala al-Tahrir, juz. II, Surabaya: Syirkah Bengkul Indah, t.t.
Dahlan, Abdul Azis, (ed.), Ensikolpedi Hukum Islam Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Fatani, Daud bin Abdullah, Furu` al-Masa-il, Juz. II,  Singapura: Al-Haramaini, t.t.
Hasan, M. Ali, Tuntunan Puasa dan Zakat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.
Khudari Beyk, Muhammad, Tarikh Tasyri' al-Islami, Cairo: Maktabah Tijariyah al-Kubra, 1970.
Mubarak, Jaih, Sejumlah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002.
Mughniyah, Muhammad Jawwad, Fiqih Lima Mazhab: Ja`fari, Hanafi, Maliki, Syafi`I, Hanbali, Terj. Maskur AB Dkk, Jakarta: Lentera Basritama, 2005.
Malibari, Zainuddin, I`anah al-Talibin, Jilid. 1, Bairut: Dar al-Fikr, t.t.
Rusyd, Ibnu, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid, jilid. I, Semarang:Toha Putra Semarang,t.t.
Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi`i, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1994), hal. 174.
Shiddieqy, Hasbi Ash, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999
Sabiq, Al-Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Jilid. I, Beirut: Dar al-Fikr, 1983.
Syaltut dan Ali al-Sayis, Mahmud, Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fiqih,  Terj.  Ismuha, Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Salim,  Abu Malik Kamal Sayyid, Fiqh al-Sunnah li al-Nisa`, Arab Saudi: Dar al-Bayan al-Hadithah, 1422.
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2002.
`Umairah, Hasyiah `Umairah, Surabaya: Syirkah Nur Asia, t.t.
Qardawi, Yusuf, Hukum Zakat (Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Qur`an dan Hadis), Terj. Salman Harun Dkk, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2006.



[1] Muhammad Ali Sayyis, Sejarah Fiqih Islam, (Jakarta, Pustaka al-Kausar, 2003), hal.169.
[2] Muhammad Khudari Beyk, Tarikh Tasyri' al-Islami, (Cairo: Maktabah Tijariyah al-Kubra, 1970), hal. 140-142
[3] Sirajudin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi'i, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1995) hal. 56.
[4] Jaih Mubarak, Sejumlah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), hal. 140.
[5] Jalal al-Din “Abd Rahman Al-Suyuti, al-ljtihad al-Radd ‘all man Akhlada ila al-Ard wa. Jahala 'anna at-ljtihadfi Kulli 'Asr Fard, (Iskandaria: Muassasah al-Syabab al-Jami'ah, 1985), hal. 21-43.
[6] Wahbah al-Zuhaily, Fiqh Islami wa Adillatuhu, jilid I, (Bairut: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 1989), hal. 63.
[7] AI-Rafi'i, Muqadimah al-`Aziz ala Syarh al-Wajiz, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), hal. 407-412.
[8] Abu Zakaria bin Yahya al-Syaraf Nawawi, Minhaj al-Talibin, (Bairut: Dar al- Kutub 'al- Ilmiyah, 1998), hal. 15.
[9] Zainuddin Malibari, I`anah al-Talibin, Jilid. 1, (Bairut: Dar al-Fikr, t.th), hal. 19.
[10] Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2002), hal. 851.
[11]Ensikolpedi Hukum Islam, Abdul Azis Dahlan, (ed.), (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), hal. 1315.
[12]Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi`i, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1994), hal. 174.
[13]Kitab al-Tanbih dan al-Muhazzab adalah dua kitab yang merupakan buah karya Syaikh Ibrahim bin `Ali bin Yusuf Abu Ishaq al-Fairuzzabadi al-Syirazi (W. 476 H). Beliau ini adalah seorang ulama Syafi`iyah yang terkenal pada abad ke v di Baghdad. Kitab al-Muhazzab adalah suatu kitab fiqif Syafi`i yang besar  yang kemudian diberi komentar (syarah) oleh Imam al-Nawawi dengan kitabnya bernama al-Majmu`. Al-Syirazi juga merupakan seorang guru besar di Universitas Islam Nizamiyah di Bahgdad, yang dibangun oleh wazir (menteri) kerajaan Bani Saljuk bernama Nizam al-Mulk. Lihat. Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi`i, (Jakaerta: Pustaka Tarbiyah, 1994), hal. 165-166.
[14]Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam…, hal. 852.
[15]Ibid,.
[16]Abdul Azis Dahlan. (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam…, hal. 1315.
[17]Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Isalam…, hal. 852.
[18]Abdul Azis Dahlan. (ed.), Ensiklopedia Hukum…, hal. 1316. Lihat juga. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), hal. 311.
[19] Muhyi al-Din Al-Nawawi, Minhaj al-Talibin wa `Umdat al-Muftin, ( Bandung: Al-Maarif, t.t), hal. 2. Lihat juga Syarahannya. Jalal al-Din al-Mahalli, Al-Mahalli, (Bandung: syirkah Nur Asia, t.t), hal. 10
[20] Al-Nawawi, Minhaj al-Talibin.., hal. 2. Lihat Juga. Syarah Jalal al-Din al-Mahalli, Al-Mahalli…, hal. 12. Juga disebutkan dalam Syihab al-Din al-Qulyubi, Hasyiah Qaliyubi,(Surabaya: Syirkah Nur Asia, t.t), hal. 12. `Umairah, Hasyiah `Umairah, (Surabaya: Syirkah Nur Asia, t.t),  hal.12.
[21]Al-Nawawi, Minhaj al-Talibin…, hal. 2.  Lihat Juga. Jalal al-Mahalli, al-Mahalli… hal. 12.
[22] Ibid,.
[23]Ibid,.
[24]Ibid,.
[25]Ibid,.
[26]Ibid,.
[27]Ibid,.
[28]Ibid,.
[29]Ibid,.
[30]Ibid,.
[31]Al-Nawawi, Minhaj…, hal. 2. Jalal al-Din al-Mahalli, al-Mahalli…, hal.14.
[32]Al-Nawawi, Minhaj…, hal. 2. Jalal al-Din al-Mahalli, al-Mahali…, hal. 14.
[33]Al-Nawawi, Minhaj al-Talibin..., hal. 4.
[34]Al-Nawawi, Minhaj al-Talibin…, hal. 4. Lihat. Jalal al-Din al-Mahalli, al-Mahally, Jilid. I, (Indonesia: Syirkah Nur Asia, t.t), hal. 55. Lihat Juga. Imam al-Syarqawi, Al-Syarqawi `Ala al-Tahrir,  Jilid.I, (Surabaya: Syirkah Bengkul Indah, t.t), hal. 52.
[35]Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid. I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), hal. 42.
[36]Al-Nawawi, Minhaj al-Talibin…,  hal.4.
[37]Mahmud Syaltut dan Ali al-Sayis, Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fiqih,  Terj.  Ismuha, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hal. 47. Lihat Juga. Muhammad Jawwad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab: Ja`fari, Hanafi, Maliki, Syafi`I, Hanbali, Terj. Maskur AB Dkk, (Jakarta: Lentera Basritama, 2005), hal. 25.
[38]Muhammad Nasiruddin al-Bani, Sahih Sunan Abu Daud, (Riyadh: Maktabah al-Ma`arif, 1998), hal. 68.
[39]Imam Syarqawi, Al-Syarqawi `ala Tahrir…, hal. 53. Lihat Pula. Mahmud Syaltut dan `Ali al-Sayis, Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fiqih…,  hal.47
[40] Imam Syarqawi, al-Syarqawi`ala Tahrir…, hal. 53.
[41] Nasrun Haroen,  Ushul Fiqh I…, ha. 57.
[42]Muhammad Fuad Abd al-Baqy, Sahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, Jilid. I,  (Indonesia: Maktabah  Dahlan, 1954), hal. 427.
[43]Al-Nawawi, Minhaj al-Talibin..., hal. 8.  Lihat juga. Jalal al-Din al-Mahalli, al-Mahalli, jilid. I..., hal. 113.
[44]Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid Wa Nihayat al-Muqtasid ,  Jilid. I, (Semarang: Toha Putra, t.t) hal. 69. Lihat Juga. Muhammad Abdul Aziz Al-Halawy, Fatwa dan Ijtihad Umar Khaththab (Ensiklopedi Berbagai Persoalan Fiqih), Terj. Zubeir Suryadi Abdullah, (Surabaya: Risalah Gusti, 2003), hal. 54.
[45]Al-Nawawi, Minhaj al-Talibin…, hal. 8. Jalal al-Din al-Mahalli, al-Mahalli, jilid. I...,      hal. 113. Ibrahim al-Bajury, Al-Bajury, Jilid. I, (Toha Putra: Semarang, t.t), hal. 126. Lihat Juga. Jalal al-Din Al-Mahally, Al-Mahally..., hal. 113.
[46]Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah…, hal. 87.
[47]Ibid,.
[48] Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid, jilid. I, (Semarang:Toha Putra Semarang,t.t), hal. 69.
[49]Ibrahim al-Bajuri, Al-Bajuri…, hal. 126.
[50]Al-Nawawi, Minhaj al-Talibin..., hal. 8.
[51]Al-Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah…, hal. 87.
[52]Al-Nawawi, Rawdat al-Talibin Wa `Umdat al-Muftin, Juz. I,  (Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1991), hal. 181.
[53]Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid, Jilid. I, (Semarang: Toha Putra, t.t), hal. 69.
[54]Yusuf Qardawi, Hukum Zakat (Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Qur`an dan Hadis), Terj. Salman Harun Dkk, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2006),    hal. 312.
[55]M. Ali Hasan, Tuntunan Puasa dan Zakat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 153. 
[56] Al-Syarqawi, al-Syarqawi `ala al-Tahrir,     juz. I, (Singapura: Al-Haramain, t.t), hal. 354.
[57]Al-Nawawi, Minhaj al-Talibin…, hal. 27.
[58]Muhammad Jawwad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab (Ja`fari, Hanafi, Maliki, Syafi`i, Hambali), …, hal. 187.
[59]Al-Nawawi, Minhaj al-Talibin…, hal. 28. Lihat Juga Jalal al-Din al-Mahali, al-Mahali, Jilid. II…,hal. 27.
[60]Ibid,.
[61]Muhammad Jawwad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab (Ja`fari, Hanafi, Maliki, Syafi`i, Hambali), …, hal. 187.
[62]Al-Nawawi, Minhaj al-Talibin…, hal. 28. Lihat Pula Jalal al-Din al-Mahali, al-Mahali…, hal. 27.
[63]Yusuf Qardawi, Hukum Zakat…, hal. 314.
[64]Jalal al-Din al-Mahalli, Al-Mahalli..., hal. 27.
[65]Yusuf Qardawi, Hukum Zakat…, hal. 314.
[66]Syihab al-Din al-Qalyubi, al-Qalyubi,  (Semarang, Toha Putra Semarang, t.t), hal. 14.
[67] Daud bin Abdullah Fatani, Furu` al-Masa-il, Juz. II,  (Singapura: Al-Haramaini, t.t), hal.252. Lihat juga. Ibrahim al-Bajury, al-Bajury, Juz. II, (Semarang: Toha Putra, t.t), hal. 158. Lihat juga. Al-Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz. II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), hal. 264. Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam(Hukum Fiqh Lengkap), (bandung: Sinar Baru Algesindo, 2003), hal. 411.
[68]Muhammad Jawwad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab…, hal. 494.
[69]Abu Malik Kamal Sayyid Salim,  Fiqh al-Sunnah li al-Nisa`, (Arab Saudi: Dar al-Bayan al-Hadithah, 1422), hal. 577.
[70] Sayid al-Sabiq, Fiqh al-Sunnah …, hal. 265.
[71] Al-Syarqawi, Al-Syarqawi `ala al-Tahrir, juz. II, (Surabaya: Syirkah Bengkul Indah, t.t), hal. 317.
[72]Ibnu Ruysd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid, Jilid.II, (Semarang: Toha Putra Semarang, t.t), hal. 79.
[73]Al-Nawawi, Minhaj al-Talibin…,  hal.101.
[74]Jalal al-Din al-Mahalli, Al-Mahalli, Jilid. IV..., hal. 14.
[75]Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid Wa Nihayat al-Muqtasid.., hal. 79.

1 komentar:

  1. Assalamu'alaikum... mas tulisan ini bentuknya apa? makalah, sekripsi dll. terus disusun oleh siapa dan diman?

    BalasHapus

 

Blogger news

Test Footer


web counter

About