Pages

Minggu, 07 Maret 2010

PENGETAHUAN DAN KEKUASAAN DALAM PERSPEKTIF FOUCAULT

Michel Foucault yang telah menciptakan tentang relasi Kekuasaan- Pengetahuan. Pengetahuan dan Kekuasaan mempunyai hubungan timbal balik. Penyelenggaraan kekuasaan terus menerus akan menciptakan entitas pengetahuan, begitu pun sebaliknya penyelenggaraan pengetahuan akan menimbulkan efek kekuasaan.
Wacana kebenaran dibentuk dan diproduksi melalui sebuah proses-proses dan mekanisme-mekanisme kuasa. Bahwa wacana tidaklah bisa berdiri secara otonom dalam kerangka kebenaran objektif. Namun lebih dari itu wacana menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari proses dan mekanisme kekuasaan.

A. Pendahuluan
Setiap pembahasan yang menyangkut persoalan kuasa selalu berbanding lurus dengan pengetahuan dan pengetahuan selalu bersinggungan dengan wacana atau diskursus, sehingga antara pengetahuan, wacana dan kekuasaan selalu dalam relasional. Kekuasaan dalam konteks ini adalah kekuasaan yang dipahami sebagai seperangkat sistem-sistem regulasi, aturan dan menormalisasi kehidupan masyarakat. Kekuasaan di sini tidak bisa dilepaskan dari konstruk kebenaran yang menjadi basis dari keabsahan pengetahuan.
Pengetahuan (dalam bahasa Inggrisnya Knowledge): Ada banyak definisi tentang pengetahuan diantaranya adalah: 1. Pengakuan tentang sesuatu, 2. Keakraban atau pengenalan sesuatu dari pengalaman aktual, 3. Persepsi yang jelas tentang apa yang dipandang sebagai fakta, kebenaran atau kewajiban, 4. Informasi dan/atau pelajaran yang disimpan, 5. Hal-hal yang disimpan dalam kesadaran seperti kepercayaan, ide-ide, bangunan konsep, pernyataan, pendapat untuk dijustifikasi dengan cara tertentu dan dengan demikian dianggap benar. (kamus filsafat,1995:th)
Ada banyak pengertian mengenai wacana, dalam pengertian yang paling luas, wacana berarti sesuatu yang ditulis atau dikatakan atau dikomunikasikan dengan menggunakan tanda-tanda, dan menandai hubungan yang lainnya dengan strukturalisme dan fokus-fokus dominannya pada bahasa. Namun menurut pengertian Foucault, wacana didefinisikan sebagai bidang dari semua pernyataan (statement), kadangkala sebagai sebuah individualisasi kelompok pernyataan, dan kadangkala sebagai praktek regulatif yang dilihat dari sejumlah pernyataan. (Lydia, 2001:100)
Paparan di atas merupakan sebuah bukti bagaimana wacana kebenaran dibentuk dan diproduksi melalui sebuah proses-proses dan mekanisme-mekanisme kuasa. Bahwa wacana tidaklah bisa berdiri secara otonom dalam kerangka kebenaran objektif. Namun lebih dari itu wacana menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari proses dan mekanisme kekuasaan.
Sementara kekuasaan dalam konteks ini bukanlah hal yang bersifat hierarkis. Semisal kekuasaan negara, kekuasaan aparat dan sebagainya. Namun kekuasaan ini diartikan sebagai 'yang menormalisasi', dan 'yang mendisiplinkan". Dan kekuasaan yang sedemikian itu menyebar dan beroperasi dalam mekanisme-mekanisme sosial yang ada. Dengan demikian tidak ada yang disebut sebagai subjek kuasa.

B. Biografi Foucault
Untuk memahami tesis relasi kekuasaan pengetahuan yang menjadi substansi pemikiran Michel Foucault, terlebih dahulu kita melihat latar belakang kehidupan Michel Foucault. Tidak banyak yang diketahui tentang riwayat kehidupan pribadi Foucault, karena Foucault sendiri tidak pernah dan bahkan enggan menulis serta mempublikasikan biografinya. Hal itu terkait dengan corak pemikirannya nanti tentang kematian pengarang (The Death of Authors).
Foucault lahir pada tanggal 15 Oktober 1926 di Pointiers, sebuah kota yang terletak di Negara Perancis. Ayah Foucault adalah seorang dokter ahli bedah di Pointier dan merupakan guru besar dalam bidang anatomi di Perguruan Tinggi. Namanya Paul Foucault. Jadi, Foucault dengan demikian adalah nama keluarga. Kakek Foucault juga seorang dokter ahli bedah. Kakek Foucault berasal dari Fontaineblu. Ayah Foucault mengawini Anne Malapert—ibu Foucault yang juga anak dari seorang dokter ahli bedah. Mereka tinggal di sebuah rumah asri di Pointier yang dibangun oleh ayah Anne – Dokter Malapert pada tahun 1903. Keluarga dokter bedah ini dikaruniai tiga orang anak. Yang pertama seorang perempuan diberi nama Francine, yang kedua adalah Paul Michel Foucault – atau Foucault sendiri, dan yang ketiga adik Foucault laki-laki yang bernama Deny.(Seno Joko, 2001:113)
Sebagaimana anak-anak kecil Perancis lainnya di tahun 40-an masa kecil Foucault adalah masa kecil yang penuh kenangan ketakutan akan datangnya musuh yang akan menghancurkan kota mereka. Masa kecil Foucault adalah masa saat Jerman melakukan pendudukan di Perancis. Di Pointier – dari waktu ke waktu pesawat terbang Jerman melayang rendah terbang keliling kota mencari target sasaran stasiun-stasiun kereta api. Pointier sendiri adalah sebuah kota yang selalu dalam pengawasan serta control resmi dari pasukan Jerman. Secara periodik serdadu-serdadu Jerman berpatroli di Pointier untuk menangkapi orang-orang Yahudi dan mengirimnya ke barak-barak konsentrasi untuk disiksa.
Karena minatnya yang besar pada bidang sejarah itulah kemudian menjadikan pertentangan yang hebat antara Foucault dengan ayahnya. Sebagai anggota keluarga ahli bedah, ayah Foucault menginginkan Foucault pun mengikuti jejaknya untuk menjadi dokter. Namun ibunya yang tahu benar minat putranya dalam bidang sejarah pun membela Foucault ketika berselisih degan ayahnya tentang keputusan Foucault untuk melanjutkan studinya setelah lulus college. Pada tahun 1943, setelah lulus college, Foucault bermaksud meneruskan studynya ke Ecole Normale Superieure untuk mempelajari sastra dan sejarah.
Saat bersekolah di Ecole Normale inilah terlihat bakat-bakat kecerdasan Foucault, sekaligus sifat-sifat aneh Foucault. Selama bersekolah di sana, guru-guru serta teman-temannya mengakui bahwa Foucault adalah seorang anak yang jenius dan sekaligus juga punya perilaku yang tak lazim di kalangan teman-temannya.
Ecole Normale memang sebuah sekolah yang menampung anak-anak cerdas di Perancis. Maka tak heran kemudian jika di sekolah tersebut dipenuhi dengan murid-murid yang bersikap eksentrik. Eksetriksitas boleh dikata sebagai style serta kultur siswa-siswa Ecole Normale. Namun eksentriksitas Foucault sangat lain dan paling tidak bisa dimengerti.
Kelakuan paling aneh yang paling bisa disebut dalam diri Foucault selama ia sekolah di Ecole Normale Superiure adalah ia punya obsesi kuat untuk bunuh diri. Ia pernah ditemukan oleh gurunya tergeletak dilantai sekolah dengan nadi tangan berlumuran darah. Seringkali juga ia mencoba memotong nadinya. Hingga ayahnya kemudian membawanya kepada psikiater. Di depan psikiater inilah pertama kali ia mengakui bahwa ia adalah seorang homoseksual. Namun begitu, Foucault mau belajar psikologi. Ia membaca karya-karya Freud yang kelak akan sangat berkaitan dengan karyanya.
Pada tahun 1955 Foucault bekerja sebagai instruktur Perancis di Upsalla, Swedia. Di sana ia membenamkan diri dalam perpustakaan untuk meneliti karya-karya kedokteran dari abd 16 sampai dengan abad 20. hal tersebut lah yang kemudian mengantarkannya pada karya pertama yakni Folie et deraison (Madness and Civilization).
Kehidupan intelektual Foucault berubah dengan cepat pada akhir tahun 50-an dan tahun 60-an. Pada bulan Mei 1968, di Paris terjadi gelombang Revolusi yang besar. Para mahasiswa menduduki gedung-gedung Parlemen untuk menuntut diakhirinya semua lembaga hierarki. Aksi ini dipelopori oleh golongan kiri radikal yang menyatakan dirinya Maois.
Pada tahun 1984 Foucault meninggal karena terkena AIDS, walaupun dia sendiri tidak mengetahui bahwa penyebab kematiannya adalah karena AIDS. Demikian sekilas biografi Michel Foucault. Tak banyak yang bisa diungkap dari pribadi Foucault, karena ia tak pernah menuliskan kehidupan pribadinya.

C. Arkeologi Pengetahuan
Dalam awal karyanya Foucault mengupas tentang sebuah metodologi yang dinamakannya “Arkeologi Pengetahuan”. Dengan diterbitkannya buku The Archeology of Knowledge, pada tahun 1969 Foucault mengatakan bahwa seluruh buku-buku yang ditulisnya bergerak dalam fokus penelitian arkeologis. Terutama untuk The Order of Things, Madness and Civilization dan Birth of Clinic boleh dibilang merupakan batu loncatan untuk merumuskan secara luas pendekatan arkeologi yang ditelorkannya.
Untuk menjelaskan bagaimana model beroperasinya pendekatan arkeologis, perlu kita pahami bahwa penelitian Foucault berpijak pada dua kosakata yakni Connaisance dan Savoir. Connaisance adalah terma yang digunakan oleh bahasa Jerman untuk merujuk pada sebuah korpus pengetahuan yang partikular, seperti Biologi, Ekonomi, Sejarah dan sebagainya. Sedangkan Savoir digunakan untuk merujuk pada pengetahuan yang general, bukan partikular. Savoir dapat dimaknai pengetahuan yang lebih umum, tanpa harus terkotak pada satu displin tertentu.
Dalam Arkeologi Ilmu Pengetahuan, Foucault tertarik untuk melakukan penyelidikan terhadap fenomena kesejarahan. Dengan metode arkeologisnya, Foucault berusaha melacak elemen pembentuk sejarah dengan menyelidiki ‘peristiwa-peristiwa (formasi) diskursif’, ‘pernyataan-pernyataan yang dibicarakan’ dan ‘dituliskan’ dalam sebuah konteks sejarah.
Pendekatan Arkeologi tidak memusatkan perhatian pada konteks epistemologis. Namun Foucault berusaha meneliti pengetahuan justru dalam ruang keberadaannya yang hidup sebelum materialisasi dan formalisasi disiplin-disiplin ilmu seperti Biologi, Matematika, Ekonomi dan sebagainya. Foucault berusaha melacak sebuah pola yang dalam pengetahuan akan mengakibatkan timbul dan eksis pengetahuan baru. Pola yang hanya karena arus sirkulasi dan dinamikanya dapat mendiferensiasikan ilmu dalam cabang-cabangnya. Bagi Foucault, arkeologi dititikberatkan pada objek, sesuatu yang tanpa konteks, artikel-artikel serta arsip-arsip yang tersisa pada masa lalu.
Dari hal tersebut dalam buku The Order of Things, Foucault berusaha menjelaskan adanya keteraturan apriori pengetahuan atau Savoir. Menurut Foucault tiap-tiap jaman akan memiliki karakter yang berbeda-beda dengan jaman lainnya. Pada The Order of Things, Foucault membagi sejarah Eropa dalam tiga periode, yakni Renaisance (abad XVI), Klasik (abad XVII) serta modern (abad XIX) yang menunjukkan sebuah proses perubahan episteme yang mendasari karakter pengetahuan pada masing-masing masa tersebut.
Dalam memahami sejarah Foucault melihat bahwa sejarah bukan sebagai rentetan kesinambungan tetapi sebagai suatu ‘diskontinuitas’. Diskontinuitas oleh Foucault dinilai sebagai sebuah keterputusan dimana sebelumnya lebih dahulu terjadi sebuah proses distribusi tipologi pengetahuan baru. Dalam setiap perubahan jaman terdapat perubahan-perubahan episteme yang mendasarinya. Perubahan-perubahan episteme tiap jaman dalam konsep diskontinuitas, tidak kemudian secara radikal, seperti membalikkan tangan. Dalam proses itu terjadi sebuah distribusi serta multiplikasi formasi-formasi diskursif baru. Formasi diskursif inilah yang menjadi unit paling elementer untuk mengidentifikasikan episteme.
Dalam hal ini Foucault sepaham dengan kelompok sejarawan Perancis yang tergabung dalam Majalah Annales yang banyak mengupas dan menguraikan sejarah berdasarkan konsep seperti retakan, ambang, batas, seri. Peneliti-peneliti Annales semacam Michel Serres, Gaston Bachelard, George Canguilham semakin menonjolkan diskontinuitas yang dulu banyak dianggap oleh sejarawan sebagai sebuah hambatan utama untuk memahami sejarah.
Perubahan episteme dalam setiap jaman yang tidak langsung sekali jadi tersebut dijelaskan Foucault dengan menerangkan bahwa telah terjadi penyebaran formasi diskursif dalam masyarakat. Untuk memahami bagaimana kondisi wacana kebenaran yang ada pada masyarakat, haruslah juga dilihat bagaimana pola penyebaran wacana yang ada. Proses distribusi wacana akan mengakibatkan sebuah rezim kebenaran yang akan menentukan apa yang dianggap benar dan tidak benar, penting dan tidak penting dalam sejarah.
Dari hal tersebut perubahan persepsi masyarakat Eropa abad 16 sampai abad 19 tentang kegilaan seperti yang diteliti Foucault dalam bukunya Madness and Civilization, membuktikan adanya perubahan episteme yang mendasari pula perubahan pengetahuan yang ada pada masyarakat Eropa waktu itu. Tegasnya, realitas apapun tidaklah mendahului sebuah diskursus, tapi dikukuhkan dan dikonstitusikan oleh diskursus yang pada akhirnya membentuk episteme.
Dalam rangka menyelidiki diskursus, Foucault menggunakan tiga konsep yakni positivitas, apriori historis dan arsip. Positivitas adalah apa yang menandai kesatuan diskursus dalam satu periode. Kesatuan yang dapat mengatakan bahwa dua orang pengarang berbicara hal yang sama atau berbeda. Positivitas tegasnya adalah ‘lingkup komunikas’ antar pengarang. Apa yang memungkinkan adanya positivitas oleh Foucault disebut sebagai apriori historis. Atau lebih mudahnya, keseluruhan hal yang menjadi syarat atau aturan untuk menentukan diskursus. Sementara arsip adalah sistem pernyataan-pernyataan yang dihasilkan oleh berbagai positivitas sesuai apriori historis masing-masing.
Pada langkah selanjutnya kita perlu membedakan antara arkeologi pengetahuan dengan sejarah pemikiran. Pada dasarnya ada empat prinsip yang membedakan kedua hal tersebut, yakni :
1. Arkeologi tidak mengupas tentang pemikiran, representasi, yang tersembunyi atau tampak dalam diskursus. Arkeologi lebih membahas diskursus itu sendiri sebagai praktik yang menuruti kaidah dan aturannya sendiri.
2. Arkeologi tidak berusaha mencari korelasi linier atau gradual antar diskursus antar diskursus, tapi berusaha mencari dan melihat kekhasan dari diskursus itu sendiri.
3. Arkeologi tidak membahas kajian tentang individu atau ouveres. Arkeologi menitikberatkan pada tipe-tipe aturan praktek diskursif yang berkaitan langsung dengan ouvere-ouvere individu. Oleh sebab itu arkeologi menolak kehadiran author sebagai bagian dari kesatuan kajian.
4. Arkeologi tidak menyelidiki kelahiran diskursus tapi lebih pada detesis sistematik sebagai sebuah objek diskursus.(George Ritzer, 2003:72)
Ciri yang menonjol dari arkeologi salah satunya adalah penolakan terhadap kehadiran author dalam mengintepretasikan sebuah teks. Dalam hal ini Foucault berpendapat bahwa peniadaan peran author ini berpguna untuk dapat mencari modus eksistensi dari sebuah teks yang pada nantinya berpengaruh pada pola penyebaran formasi diskursif. Karena modus eksistensi teks pada tiap generasi berbeda, maka kita tidak dapat kemudian menyandarkannya pada author untuk bisa mengetahuinya. Cara mengada suatu teks tidak cukup diteliti dengan melihat kehadiran pengarang saja tapi harus juga meneliti pada teks-teks lain di luar lingkaran author.
Pada akhirnya Foucault merasa bahwa dalam arkeologi perlu menghilangkan fokus antropologis dan prasangka antropologis. Pembahasan tentang manusia akan menyesatkan serta mendistorsi pemikiran kita. Sebab individu-individu menurut Foucault adalah bentukan dari bentuk-bentuk epistemik pada tiap-tiap jaman. Hingga kalau Nietzsche telah mengatakan kematian tuhan, maka Foucault pun juga meramalkan kematian manusia.

D. Genealogi Kekuasaan
Dalam tahap arkeologi, Foucault telah melakukan distingsi terhadap formasi-formasi diskursif dengan formasi nondiskursif. Mutasi penyebaran formasi diskursif dipandang sebagai proses independen dari formasi non diskursif seperti institusi. Pada tahap genealoginya Foucault mempunyai pandangan yang sedikit berbeda terhadap formasi non diskursif. Karena dengan mengandalkan formasi diskursif saja untuk menganalisa rezim kuasa kebenaran pada suatu jaman hanyalah impian yang bersifat ilusif. Sumber dari pemikirannya ini adalah essainya dalam kuliah di College de France pada tahun 1970 yang berjudul L’orde du Discourse.
Dalam essainya itu disebutkan bahwa penyebaran formasi diskursif dalam kerangka pembentukan rezim kuasa kebenaran yang sebelumnya dikatakan bersifat alamiah, ternyata tidak bisa lepas dan tidak bisa bebas dari limitasi, seleksi dan kontrol dari sekian banyak formasi non diskursif. Poin sentralnya adalah bahwa diskursus itu berbahaya dan kekuasaan berusaha mengontrolnya. Foucault mendefinisikan ada empat domain dimana diskursus dianggap membahayakan, yakni: politik (kekuasaan), seksualitas (hasrat), kegilaan dan secara umum apa yang dianggap benar atau palsu. Sama dengan Nietzsche yang mengidentifikasikan ‘hasrat untuk kebenaran’ dan hasrat untuk berkuasa’. Foucault menolak bahwa ilmu pengetahuan itu dikejar untuk kepentingan ilmu pengetahuan itu sendiri, bukan untuk kepentingan kekuasaan. Diskursus tentang kegilaan, politik ataupun seksualitas terpahami selama diarahkan pada pencapaian kekuasaan.
Pada tahun 1971 Foucault mempublikasikan essainya yang berjudul ‘Nietzsche, Genealogy History’ yang menandakan selesainya masa transisi pemikiran Foucault dari era Arkeologi menuju ke Genealogi. Metode analisis diskursusnya bukan lagi model analisis teks, tapi sudah menuju pada analisis ‘tubuh’. Walaupun metode ini terinspirasi dari model Nietzsche, namun Foucault membuatnya berubah karakter sehingga genealogi yang tampil adalah dengan ciri dan gaya khas Foucault.
Perbedaan yang khas antara genealogi Nietzsche dengan Foucault adalah jikalau genealogi Nietzsche menjadi sebuah alat analisis yang mempertanyakan dan membongkar adanya afiliasi-afiliasi masa lalu yang membuat ikatan-ikatan atau karakter masyarakat menjadi mengidentifikasi diri dengan hal-hal tertentu, (contoh bagaimana ketika Jerman mengidentifikasi diri memiliki double soul atas segala kebencian tak berdasar pada ras Yahudi) ini bisa kita lacak bagaimana pengidentifikasian ini muncul. Karakter-karakter tersebut lahir dari suatu proses konfrontasi yang panjang yang tumbuh dari permainan dominasi-dominasi yang melibatkan humanisme. Proses humanisme adalah proses yang berjalan pada individu sebagai bagian terkecil dari masyarakat, yang menyebabkan pikiran, tubuh, sampai moral memiliki identitas tertentu. Maka dengan genealogi Nietzsche berusaha membalik analisis tersebut dengan melacak titik konfrontasi, titik-titik dominasi dimana penyelewengan yang menumbuhkan ilusi itu terjadi.Hal ini dapat ditegaskan bahwa genealogi Nietzsche bergerak pada bidang humanisme dengan berusaha menciptakan tatanan moral diatas tatanan moral yang oleh Nietzsche dikatakan telah ambruk.
Sementara Foucault mengambil fokus genealoginya pada proses pembentukan tubuh. Genalogi Foucault berusaha memperlihatkan bagaimana relasi-relasi kekuasaan dan pengetahuan berjalan untuk menguasai, mengontrol serta menundukkan tubuh manusia-manusia modern Eropa hingga seperti yang terjadi sekarang.
Jadi pada tahap ini Foucault berusaha mendudukkan antara kekuasaan dan diskursus. Ia ingin mengupas tentang bagaimana tubuh manusia meregulasi diri, mengontrol diri di bawah kendali kekuasaan yang direpresentasikan oleh pengetahuan yang diamini kebenarannya.

E. Relasi Pengetahuan dan Kuasa
Pengetahuan dan Kekuasaan mempunyai hubungan timbal balik. Penyelenggaraan kekuasaan terus menerus akan menciptakan entitas pengetahuan, begitu pun sebaliknya penyelenggaraan pengetahuan akan menimbulkan efek kekuasaan. Demikian bunyi teori Michel Foucault tentang relasi Kekuasaan- Pengetahuan.(Eriyanto, 2003:65)
Namun yang perlu diperhatikan di sini bahwa pengertian tentang Kekuasaan menurut Foucault sama sekali berbeda dengan pengertian yang dipahami oleh masyarakat selama ini. Pada umumnya, kekuasaan dipahami dan dibicarakan sebagai daya atau pengaruh yang dimiliki oleh seseorang atau lembaga untuk memaksakan kehendaknya kepada pihak lain. Dalam konteks ini kekuasaan diartikan secara represif dan kadangkala malah opresif. Yakni adanya dominasi antara subjek dan objek kekuasaan. Semisal kekuasaan Negara pada masyarakat, raja pada rakyatnya, suami pada isteri, pemilik modal kepada para karyawannya. Pengertian semacam itu banyak digunakan oleh para ahli sejarah, politik dan sosial.(Haryatmoko, 2002:10)
Foucault memperlihatkan cara membaca yang berbeda tentang kekuasaan. Cara Foucault memahami kekuasaan sangat orisinal. Menurut Foucault kekuasaan tidak dimiliki dan dipraktekkan dalam suatu ruang lingkup di mana ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan antara satu dengan yang lain. Foucault meneliti Kekuasaan lebih pada individu, subjek dalam lingkup yang paling kecil. Karena kekuasaan menyebar tanpa bisa dilokalisasi dan meresap ke dalam seluruh jalinan perhubungan sosial. Kekuasaan beroperasi dan bukan dimiliki oleh oknum siapa pun dalam relasi-relasi pengetahuan, ilmu, lembaga-lembaga. Lagipula sifatnya bukan represif, melainkan menormalisasikan susunan-susunan masyarakat.
Kekuasaan tersebut beroperasi secara tak sadar dalam jaringan kesadaran masyarakat. Karena kekuasaan tidak datang dari luar tapi menentukan susunan, aturan-aturan, hubungan-hubungan itu dari dalam. Sebagai contoh dapat disebutkan bahwa hubungan keluarga yang menormalkan bahwa suami adalah yang harus bekerja untuk mencari nafkah sementara isteri hanya bertugas mengurusi rumah tangga serta merawat anak-anaknya. Atau contoh lain misalnya tentang karyawan yang secara berdisiplin bekerja sesuai dengan tugas-tugasnya. Bahwa ketaatan karyawan tersebut bukan karena adanya represi dari bos atau pimpinan namun karena adanya regulasi-regulasi dari dalam yang menormalkan. Mereka bekerja dengan giat bukan saja hanya karena ada ancaman atau tekanan tapi juga karena adanya semacam struktur diskursif yang mengatakan akan ada penghargaan bagi karyawan yang berprestasi dalam bekerja.
Setiap masyarakat mengenal strategi kuasa yang menyangkut kebenaran. Beberapa diskursus diterima dan diedarkan sebagai benar, ada instansi-instansi yang menjamin perbedaan antara benar dan tidak benar. Ada macam-macam aturan dan prosedur untuk memperoleh dan menyebarkan kekuasaan.
Bagi Foucault kekuasaan selalu teraktualisasi lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya efek kuasa. Penyelenggaraan pengetahuan menurut Foucault selau memproduksi pengetahuan sebagai basis kekuasaan. Hampir tidak mungkin kekuasaan tidak ditopang dengan suatu ekonomi wacana kebenaran.
Pengetahuan tidak merupakan pengungkapan samar-samar dari relasi kuasa, namun pengetahuan berada dalam relasi-relasi kuasa itu sendiri. Kuasa memprodusir pengetahuan dan bukan saja karena pengetahuan berguna bagi kuasa. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Konsep Foucault ini membawa konsekuensi, untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi pengetahuan yang melandasi kekuasaan. Karena setiap kekuasaan disusun, dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu. Wacana tertentu menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu, yang menimbulkan efek kuasa.
Namun Foucault berpendapat bahwa kebenaran di sini bukan sebagai hal yang turun dari langit, dan bukan juga sebagai sebuah konsep yang abstrak. Kebenaran di sini diproduksi, karena setiap kekuasaan menghasilkan dan memproduksi kebenaran sendiri melalui mana khalayak digiring untuk mengikuti kebenaran yang telah ditetapkan tersebut. Di sini kekuasaan selalu berpretensi menghasilkan rezim kebenaran tertentu yang disebarkan oleh wacana yang diproduksi dan dibentuk oleh kekuasaan.
Dalam masyarakat modern, semua tempat berlangsungnya kekuasaan juga menjadi tempat pengetahuan. Dalam penelitiannya Foucault meneliti fenomena kegilaan yang menjadi lahan subur bagi berkembangnya bidang-bidang keilmuan seperti psikiatri, psikologi, kedokteran, sosiologi, kriminologi bahkan teologi. Produksi mendorong perkembangan ilmu ekonomi, sosiologi, psikologi. Demikian sebaliknya, semua pengetahuan memungkinkan dan menjamin beroperasinya kekuasaan. Kehendak untuk mengetahui menjadi proses dominasi terhadap objek-objek dan terhadap manusia. Pengetahuan adalah cara bagaimana kekuasaan memaksakan diri kepada subjek tanpa memberi kesan bahwa ia datang dari subjek tertentu. Karena kriteria keilmiahan seakan-akan mandiri terhadap subjek. Padahal klaim ini sebenarnya merupakan salah satu bagian dari strategi kekuasaan.
Foucault mendefinisikan strategi kekuasaan sebagai melekat pada kehendak untuk mengetahui. Melalui wacana, kehendak untuk mengetahui terumus dalam pengetahuan. Wacana bukan muncul begitu saja akan tetapi diproduksi oleh zamannya masing-masing.
Menurut Foucault, pandangan kita tentang suatu objek dibentuk dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh struktur diskursif tersebut; wacana dicirikan oleh batasan bidang dari objek, definisi dari perspektif yang paling dipercaya dan dipandang paling benar. Persepsi kita tentang suatu objek dibatasi oleh praktek diskursif ; dibatasi oleh pandangan yang mendefinisikan sesuatu bahwa ini benar dan yang lain salah. Ini seperti kalau kita mendengar kata dangdut, maka bayangan kita akan mengarah pada satu jenis musik yang tak lepas dari goyang. Wacana tertentu membatasi pandangan khalayak, mengarahkan pada jalan pikiran tertentu dan menghayati itu sebagai sesuatu yang benar. Wacana merupakan sebuah arena di mana khalayak berpikir dengan jalan tertentu, bukan yang lain.
Wacana mampu menepis segala hal yang tidak termasuk dalam garis ketentuannya namun juga bisa memasukkan apa yang dianggap oleh struktur diskursif yang membentuknya benar. Dalam hal ini objek bisa jadi tidak berubah namun struktur diskursif dibuat, menjadikan objek tersebut berubah. Seperti contoh bakteri di lautan yang dahulu dikategorikan sebagai hewan, namun kini ia dikategorikan dan diklasifikasikan sebagai tumbuhan. Dalam hal ini tidak ada yang berubah dari objek bakteri tersebut, namun karena ada struktur diskursif yang melingkupinya kemudian kita memperlakukan dan mempelajari dan menempelkan sifat-sifat makhluk itu pada tumbuhan.
Dalam perkembangan masyarakat modern tak bisa lepas dari peran media massa. Media massa bukan saja berperan sebagai penyampai informasi bagi masyarakat, namun lebih dari itu media juga berperan bagi pembentukan wacana yang akan melatari setiap zamannya. Apalagi dengan berkembangnya teknologi informasi yang semakin pesat, menjadikan media massa sangat mempengaruhi segala lini kehidupan masyarakat.

F. Penutup
Michel Foucault yang telah menciptakan tentang relasi Kekuasaan- Pengetahuan. Pengetahuan dan Kekuasaan mempunyai hubungan timbal balik. Penyelenggaraan kekuasaan terus menerus akan menciptakan entitas pengetahuan, begitu pun sebaliknya penyelenggaraan pengetahuan akan menimbulkan efek kekuasaan.



DAFTAR PUSTAKA


Kamus Filsafat, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya), 1995

Lydia, Foucault, “Foucault Untuk Pemula” Kanisius, 2001

Seno Joko Suyono, Tubuh Yang Rasis, Telaah Kritis Michel Foucault atas Dasar-dasar pembentukan Diri Kelas Menengah Eropa, (Jogjakarta, Pustaka Pelajar, 2001)

K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer, (Jogjakarta, Kanisius),hal.302.

George ritzer, Teori Sosial Postmodern, terj. (Jojakarta, Kreasi Wacana, 2003)

Eriyanto, “Analisis Wacana” Pengantar Analisis Teks Media, LKiS, 2003.

Haryatmoko, “Kekuasan melahirkan Anti Kekuasaan” dalam Jurnal Basis No 01-02 Tahun ke-51, Januari-Februari 2002.

Lydia Alix Fillingham, “Foucault Untuk Pemula” Kanisius, 2001, hal. 12

George Junus Aditjondro, “Pengetahuan-Pengetahuan Lokal yang Tertindas” Jurnal kalam No. 1, 1994

Islam Dan Kelestarian Lingkungan: Studi Tentang Fiqh Al-Biah Sebagai Solusi Alternatif Terhadap Kerusakan Lingkungan

Abstract
This article analyzed enviromental crisis that happened in the word. Islam is completed laws offered how about overcome environmental crisis with Islamic Law about environmental (Figh Al-Bi'ah). In its beginning, the article explores environmental health in context of Islam, Environmental health in context of environmental Law in Islam. The article closed with concluding remark on Islamic Law about environmental (Figh Al-Bi'ah) as alternative solution to evercome environmental crisis in the word specially in Indonesia.

Keywords: Fiqh Al-Bi'ah, vicegerent (khalifah.) of God on earth, Environmental Crisis.


Pendahuluan
Hingga saat ini permasalahan lingkungan hidup mendapat perhatian besar dari hampir semua negara-negara di dunia. Ini terutama terjadi dalam dasawarsa 1970-an setelah diadakannya konferensi PBB tentang lingkungan hidup di Stokholm pada tanggal 5 Juni 1972. Konferensi ini kemudian dikenal dengan Konferensi Stokholm, dan pada hari dan tanggal itulah kemudian ditetapkan sebagai hari lingkungan hidup sedunia. Namun sayangnya hingga saat ini -lepas dari tiga dekade kemudian-walaupun jumlah lembaga dan aktivis environmentalism semakin bertambah dari tahun ke tahun, namun laju kerusakan lingkungan masih terus berlangsung. Kegagalan tersebut banyak diakui kalangan aktivis disebabkan karena kebijakan yang disusun tidak secara konsisten dilaksanakan.
Di Indonesia, perhatian tentang lingkungan hidup telah muncul di media massa sejak tahun 1960-an. Suatu tonggak sejarah tentang lingkungan hidup di Indonesia ialah diselenggarakannya Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional oleh Universitas Padjajaran di Bandung pada tanggal 15-18 Mei 1972. Seminar itu merupakan seminar pertama tentang lingkungan hidup yang diadakan di Indonesia.( Otto Soemarwoto, 2001: 1) Selain itu pada awal Juli 1973, Sumarlin dalam rangka Hari Lingkungan Hidup Dunia menyatakan adanya tiga prioritas dalam menanggulangi problematika lingkungan di negeri ini, antara lain: di lautan (pertambangan minyak di lepas pantai) dan di perkotaan (urbanisasi liar dan industrialisasi yang pincang).(A. Sonny Keraf, Kompa: 1973)
Indonesia sendiri, dalam beberapa dasawarsa terakhir, tidak henti-hentinya dirundung berbagai bencana banjir, tanah longsor, maupun polusi. Laporan UNEP memperkirakan kerugian Indonesia akibat bencana tsunami saja mencapai 675 juta dollar AS, atau setara dengan 6 triliun rupiah. Tak hanya itu, kerusakan lingkungan juga menjadi gejala umum hampir seluruh kawasan di Indonesia. Berbagai bencana yang terjadi di Indonesia, baik langsung maupun tidak langsung kemudian mendorong keterlibatan aktif peran ulama dan pemikir Islam sejak satu tahun terakhir ini, dengan mengedepankan hikmah perenial Islam, dalam upaya mengatasi persoalan lingkungan yang selama ini didominasi oleh kalangan akademisi dan birokrat. Fiqh yang merupakan salah satu dari ilmu-ilmu keislaman yang sangat dominan dalam kehidupan umat Islam, sebenarnya telah menawarkan suatu kerangka pendekatan terhadap lingkungan hidup. Akan tetapi, wacana lingkungan hidup tidak dibahas dan dikaji secara khusus dalam bab tersendiri, melainkan tersebar di beberapa bagian dalam pokok-pokok bahasan ilmu fiqh itu. Secara substansi Fiqh lingkungan hidup (Fiqh Al-Biah) berupaya menyadarkan manusia yang beriman supaya menginsyafi bahwa masalah lingkungan hidup tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab manusia yang beriman dan amanat yang diembannya
Dalam tulisan ini saya akan menganalisa tentang munculnya wacana Fiqh al-Bi'ah sebagai solusi alternatif dalam mengatasi kerusakan lingkungan. Saya mengawalinya dengan sekilas membahas tentang Islam dan pelestarian lingkungan, untuk kemudian membahas tentang munculnya wacana Fiqh al-Bi'ah dikalangan umat Islam. Akhirnya, tulisan saya tutup dengan fiqh al-Bi'ah sebagai solusi alternatif terhadap kerusakan lingkungan.
Pelestarian Lingkungan hidup dalam perspektif Islam
Kata ‘lestari’ dapat diartikan sebagai tetap seperti keadaannya semula, tak berubah atau kekal. Jadi, pelestarian adalah pengelolaan sumber daya alam yang menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya.
Islam sebagai agama samawi terakhir di dunia, di bawa oleh Nabi Muhammad saw. sebagai penyempurna agama-agama sebelumnya. Konsekuensinya, Islam akan dan harus bisa menjawab tantangan-tantangan dari kedinamisan yang ada di dunia sampai masa akhir nanti (kiamat). Tantangan tersebut dapat berupa tantangan yang berhubungan dengan tauhid, jinayah maupun muamalah. Walaupun tantangan dari kedinamisan perjalanan masa dapat terjawab dengan sempurna oleh Islam, namun banyak kalangan tetap berprasangka, bahwa jalan terbaik menghilangkan prasangka tersebut adalah harus dijawab secara ilmiah sehingga pemecahan persoalan terjawab secara objektif. (M. Rasjidi, 1976:7)
Dalam al-Qur'an dijelaskan bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah di bumi. Kewajiban manusia sebagai khalifah di bumi adalah dengan menjaga dan mengurus bumi dan segala yang ada di dalamnya untuk dikelola sebagaimana mestinya. Dalam hal ini kekhalifahan sebagai tugas dari Allah untuk mengurus bumi harus dijalankan sesuai dengan kehendak penciptanya dan tujuan penciptaannya.(Harun Nasution, 1992: 542)
Tujuan Allah mensyariatkan hukumnya adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari kerusakan (mafsadah), baik di dunia maupun di akhirat. Untuk mewujudkan kemaslahatan itulah Abu Ishaq al-Syatibi, Dalam kitab al-Muwâfaqât, membagi tujuan hukum Islam (maqâshid al-syarîah) menjadi lima hal: 1) penjagaan agama (hifdz al-dîn), 2) memelihara jiwa (hifdz al-nafs), 3) memelihara akal (hifdz al-‘aql), 4) memelihara keturunan (hifdz al-nasl), dan 5) memelihara harta benda (hifdz al-mâl).(Hatim Gazali, 2005) Lebih jauh Yusuf al-Qardlawi dalam Ri’âyatu al-Bi’ah fi al-Syarî’ati al-Islâmiyyah menjelaskan mengenai posisi pemeliharaan ekologis (hifdz al-`âlam) dalam Islam adalah pemeliharaan lingkungan setara dengan menjaga maqâshidus syarî’ah yang lima tadi. Selain al-Qardlawi, al-Syatibi juga menjelaskan bahwa sesungguhnya maqâshidus syarî’ah ditujukan untuk menegakkan kemaslahatan-kemaslahatan agama dan dunia, di mana bila prinsip-prinsip itu diabaikan, maka kemaslahatan dunia tidak akan tegak berdiri, sehingga berakibat pada kerusakan dan hilangnya kenikmatan perikehidupan manusia.(Fathurrahman Djamil, 1997:94)
Dalam konteks ajaran Islam, jauh sebelum persoalan-persoalan lingkungan hidup muncul dan menghantui penduduknya, Islam telah lebih dahulu memberi peringatan lewat ayat-ayat al-Qur'an. Urusan lingkungan hidup adalah bagian integral dari ajaran Islam. Seorang Muslim justru menempati kedudukan strategis dalam lingkungan hidup yang diciptakan sebagai khalifah di bumi ini sesuai dengan Surat Al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ……﴿30﴾
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seseorang khalifah dimuka bumi"
Ayat ini ditafsirkan secara lebih spesifik oleh Sayyed Hossein Nasr, dosen studi Islam di George Washington University, Amerika Serikat. dalam dua bukunya “Man and Nature ” dan “Religion and the Environmental Crisis ”, seperti yg dikutip Alim:
“……Man therefore occupies a particular position in this world. He is at the axis and centre of the cosmic milieu at once the master and custodian of nature. By being taught the names of all things he gains domination over them, but he is given this power only because he is the vicegerent (khalifah.) of God on earth and the instrument of His Will. Man is given the right to dominate over nature only by virtue of his theomorphic make-up, not as a rebel against heaven”.
Sebagai khalifah, sudah tentu manusia harus bersih jasmani dan rohaninya. Inilah inti dari kebersihan jasmani merupakan bagian integral dari kebersihan rohani. Jelaslah bahwa tugas manusia, terutama muslim/muslimah di muka bumi ini adalah sebagai khalifah (pemimpin) dan sebagai wakil Allah dalam memelihara bumi (mengelola lingkungan hidup).
Oleh karena itu, dalam memanfaatkan bumi ini tidak boleh semena-mena, dan seenaknya saja dalam mengekploitasinya. Pemanfaatan berbagai sumber daya alam baik yang ada di laut, didaratan dan didalam hutan harus dilakukan secara proporsional dan rasional untuk kebutuhan masyarakat banyak dan generasi penerusnya serta menjaga ekosistemnya. Allah sudah memperingatkan dalam surat al'A'raf ayat 56:
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ ﴿56﴾

" Dan janganlah kalian membuat kerusakan di atas muka bumi setelah Allah memperbaikinya dan berdo'alah kepada-Nya dengan rasa takut tidak diterima dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik". (al-A'raf:56)

Menyadari hal tesebut maka dalam pelaksanaan pembangunan sumber daya alam harus digunakan dengan rasional. Penggalian sumber kekayaan harus diusahakan dengan sekuat tenaga dan strategi dengan tidak merusak tata lingkungan dan tata hidup manusia. Perlu diusahakan penggunaan teknologi yang ramah lingkungan dan bisa menjaga kelestariannya sehingga bisa dimanfaatkan secara berkesinambungan.(Ali Yafie, 2006: 231) Kita harus bisa mengambil i'tibar dari ayat Allah yang berbunyi:
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ آَمِنَةً مُطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ فَأَذَاقَهَا اللَّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ ﴿112﴾

"Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan(dengan) dengan sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tentram rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat". (an-Nahl :112)

Manusia Indonesia harus sadar bahwa krisis multidimensi dan bencana yang datang bertubi-tubi seperti tanah longsor, banjir, kekeringan, kebakaran hutan, tanaman diserang hama dan lainnya adalah karena ulah manusia itu sendiri.
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ ﴿41﴾

"Telah nampak kerusakan didarat dan dilaut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Alllah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali kejalan yang benar". (QS. ar-Rum: 41).

Dalam ayat-ayat tersebut diatas Allah SWT secara tegas menjelaskan tentang akibat yang ditimbulkan kerena perbuatan manusia yang mengekploitasi lingkungan yang berlebihan. Ayat-ayat Al-Qur'an ini sekaligus juga menjadi sebuah terobosan paradigma baru untuk melakukan pengelolaan lingkungan melalui sebuah ajaran religi, sehingga hak atas lingkungan adalah hak bagi setiap umat di dunia. Selain itu, hak atas lingkungan sebagai hak dasar manusia juga telah menjadi kesepakatan internasional melalui butir-butir Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah diratifikasi sebagai kesepakatan bersama. Dalam hal ini termasuk baik yang tertuang dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup maupun dalam undang-undang lain yang bersifat parsial. Pentingnya upaya pengelolaan lingkungan hidup sudah sangat jelas implikasi yang akan ditimbulkannya apabila tidak dikelola secara baik, yaitu munculnya bencana, baik secara langsung maupun secara jangka panjang.
Dalam Islam di kenal tiga macam bentuk pelestarian lingkungan. Pertama, dengan cara ihya'. Yakni pemanfaatan lahan yang dilakukan oleh individu. Dalam hal ini seseorang mematok lahan untuk dapat digarap dan difungsikan untuk kepentingan pribadinya. Orang yang telah melakukannya dapat memiliki tanah tersebut. Mazhab Syafi’i menyatakan siapapun berhak mengambil manfaat atau memilikinya, meskipun tidak mendapat izin dari pemerintah. Lain halnya dengan Imam Abu Hanifah, beliau berpendapat, Ihya' boleh dilakukan dengan catatan mendapat izin dari pemerintah yang sah. Imam Malik juga berpendapat hampir sama dengan Imam Abu Hanifah. Akan tetapi, beliau menengahi dua pendapat itu dengan cara membedakan dari letak daerahnya.
Kedua, dengan proses igta'. Yakni pemerintah memberi jatah pada orang-orang tertentu untuk menempati dan memanfaatkan sebuah lahan. Adakalanya untuk dimiliki atau hanya untuk dimanfaatkan dalam jangka waktu tertentu. Ketiga, adalah dengan cara hima. Dalam hal ini pemerintah menetapkan suatu area untuk dijadikan sebagai kawasan lindung yang difungsikan untuk kemaslahatan umum. Dalam konteks dulu, hima difungsikan untuk tempat penggembalaan kuda-kuda milik negara, hewan, zakat dan lainnya. Setelah pemerintah menentukan sebuah lahan sebagai hima, maka lahan tersebut menjadi milik negara. Tidak seorang pun dibenarkan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadinya (melakukan ihya'), apalagi sampai merusaknya.
Dari uraian-uraian serta wacana-wacana di atas, sekiranya sudah mencukupi untuk dijadikan sebagai kerangka teoritik guna mendapatkan analisis terhadap pandangan hukum Islam terhadap pelestarian lingkungan.

Lingkungan Hidup dalam Perspektif Fiqh al-Bi'ah
Ilmu figh merupakan salah satu dari ilmu-ilmu keislaman (al-'ulum asy-syar'iyah) yang sangat dominan dalam kehidupan umat Islam, termasuk Indonesia. Ilmu figh pada dasarnya adalah penjabaran yang nyata dan rinci dari nilai-nilai ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur'an dan sunnah, yang digali terus menerus oleh para ahli yang menguasai hukum-hukumnya dan mengenal baik perkembangan, kebutuhan, serta kemaslahatan umat dan lingkungannya dalam bingkai ruang dan waktu yang meliputinya.
Adapun ilmu fiqh secara garis besar mempunyai empat sektor penataan. Pertama, Rab'ul al-Ibadah, yaitu menata hubungan antara manusia selaku makhluk dengan Allah SWT sebagai khaliknya, yakni hubungan transendental. Kedua, Rub'ul al-Mu'amalat, yaitu menata hubungan manusia dalam lalu lintas pergaulannya dengan sesamanya untuk memenuhi hajat kehidupannya sehari-hari. Ketiga, Rab'u al-Munakahat, yaitu penataan terhadap hubungan manusia dalam lingkungan keluarganya. Keempat, Rab'u al-Jinayah, yaitu bagian yang menata pengamanan manusia dalam suatu tertib pergaulan yang menjamin keselamatan dan ketentramannya dalam kehidupan.
Dalam memaknai fiqh sebagai sumber etika sosial dan kemaslahatn, Imam al-Syathiby membagi kemaslahatan dalam tiga tingkatan. Pertama, kemaslahatan yang bersifat primer (al-dharuriyat), yaitu kemaslahatan yang mesti menjadi acuan utama bagi implementasi syari'at Islam. Yang dimaksud kemaslahatan primer yaitu perlunya melindungi jiwa, raga, dan kehormatan manusia atau hifdh al-nafs, hifdh al-'aql (perlindungan akal), hifdh al-mal ( perlindungan harta kekayaan), hifdh al-nasb ( perlindungan keturunan), dan hifdh al-din (perlindungan agama).
Pemahaman masalah lingkungan hidup (fiqh al-Bi'ah) dan penanganannya (penyelamatan dan pelestariannya) perlu diletakkan di atas suatu pondasi moral untuk mendukung segala upaya yang sudah dilakukan dan dibina selama ini yang ternyata belum mampu mengatasi kerusakan lingkungan hidup yang sudah ada dan masih terus berlangsung. Fiqh lingkungan hidup berupaya menyadarkan manusia yang beriman supaya menginsafi bahwa masalah lingkungan hidup tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab manusia yang beriman dan merupakan amanat yang diembannya untuk memelihara dan melindungi alam yang dikaruniakan Sang pencipta yang Maha pengasih dan penyayang sebagai hunian tempat manusia dalam menjalani hidup di bumi ini.
Menurut Ali Yafie, ada dua landasan dasar dalam fiqh al-Bi'ah yaitu. Pertama, pelestarian dan pengamanan lingkungan hidup dari kerusakannya adalah bagian dari iman. Kualitas iman seseorang bisa diukur salah satunya dari sejauh mana sensitivitas dan kepedulian orang tersebut terhadap kelangsungan lingkungan hidup. Kedua, melestarikan dan melindungi lingkungan hidup adalah kewajiban setiap orang yang berakal dan baligh (dewasa). Melakukannya adalah ibadah, terhitung sebagai bentuk bakti manusia kepada Tuhan. Sementara penanggung jawab utama menjalankan kewajiban pemeliharaan dan pencegahan kerusakan lingkungan hidup ini terletak di pundak pemerintah. Ia telah diamanati memegang kekuasaan untuk memelihara dan melindungi lingkungan hidup, bukan sebaliknya mengeksploitasi dan merusaknya.
Kerusakan lingkungan hidup yang telah terjadi di berbagai wilayah di Indonesia mendorong para ulama bersatu menyerukan keprihatinan serta kepedulian mereka akan kelestarian lingkungan hidup. Wujud kepedulian ini dituangkan dalam sebuah pernyataan bersama yang ditandatangani oleh lebih dari 30 ulama dari pondok pesantren (ponpes) di Jawa, Lombok, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Pernyataan bersama ini dikeluarkan pada pertemuan bertema "Menggagas fiqh lingkungan" yang diselenggarakan INFORM (Indonesia Forest and Media Campaign) dan P4M (Pusat Pengkajian Pemberdayaan dan Pendidikan Masyarakat) di Bogor 09-12 Mei 2004. Acara ini bertujuan merumuskan fiqh lingkungan yang berdasarkan pada Qur'an, Hadits serta kitab salaf (kitab kuning).
Selanjutnya dikeluarkannya fatwa MUI tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam (Fatwa Islamic Council on Natural Resouces Management), fatwa MUI Wil. IV Kalimantan tentang Pembakaran Hutan dan Kabut Asap (Edicts of Indonesia Islamic Council on Forest Fire and Haze) dan fatwa Penebangan Liar dan Pertambangan Tanpa Izin Illegal Logging dan Illegal Mining ( Edict on Illegal Logging and Illegal Mining). Dalam fatwa MUI tersebut memutuskan dan menetapkan bahwa pembakaran hutan dan lahan untuk kegiatan kehutanan, pertanian, perkebunan, peternakan dan lain-lain yang mengakibatkan kabut asap, kerusakan lingkungan serta mengganggu kehidupan manusia hukumnya haram.
Landasan yang digunakan para ulama di antaranya: Firman Allah tentang penciptaan kekayaan alam untuk kemakmuran umat manusia (QS. Baqarah: 29), Firman Allah tentang pemberian kemudahan bagi umat manusia untuk mengambil manfaatnya (QS. AlJatsiyah:13), Firman Allah tentang larangan merusak lingkungan (QS. Al 'Araf: 56),Firman Allah tentang musibah (kebakaran dan kabut asap) disebabkan tangan manusia (QS. Asyu’ara: 30), Firman Allah tentang wajib mematuhi peraturan yang ditetapkan pemerintah tentang larangan membakar hutan untuk ke-maslahatan manusia (QS. An Nisa: 59).
Keputusan ini dipertimbangkan berdasarkan dampak dari pembakaran hutan di musim kemarau untuk memperluas areal perkebunan merusak lingkungan, karena hutan menjadi gundul berubah menjadi padang ilalang dan pada musim hujan terjadi banjir; bahwa dampak pembakaran hutan menimbulkan kabut asap yang mengganggu transportasi laut, darat dan udara, mengganggu kesehatan masyarakat dan mengganggu proses belajar mengajar, bukan hanya di wilayah Kalimantan bahkan kabut asap meluas ke wilayah negara-negara tetangga bahwa untuk mengatasi kebakaran hutan dan kabut asap, MUI merasa perlu menetapkan fatwa tentang hukum membakar hutan, dan lahan untuk memperluas perkebunan yang menyebabkan tersebar kabut asap yang sangat mengganggu aktifitas masyarakat, untuk dijadikan pedoman bagi masyarakat.
MUI wilayah IV Kalimantan juga memutuskan bahwa Penebangan dan penambangan yang merusak lingkungan dan merugikan masyarakat dan atau negara hukumnya haram. Semua kegiatan dan penghasilan yang di dapat dari bisnis tersebut tidak sah dan hukumnya haram. Penegak hukum wajib bertindak tegas sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Kondisi yang melatarbelakangi adalah makin maraknya penebangan liar dan penambangan tanpa izin dan bisnis ilegal logging dan ilegal mining; bahwa hal tersebut sangat merugikan masyarakat dan negara, yang menyebabkan rusaknya lingkungan dan terjadi banjir dan tanah longsor dan melawan perundang-undangan yang berlaku; bahwa untuk membatasi praktek tersebut MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang penebangan liar dan penambangan tanpa izin, bisnis ilegal loging dan ilegal mining untuk dijadikan pedoman bagi masyarakat.
Sedangkan sumber Al-Qur'an yang digunakan: Firman Allah tentang penciptaan kekayaan alam seperti kayu dan tambang untuk umat manusia, QS. Al Baqarah: 29 Artinya: "Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu", Firman Allah tentang pemberian kemudahan yang menjadikan segala yang diberikan kepada manusia untuk mengambil manfaatnya, QS. Al Jatsiyah: 13 Artinya "Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir" Firman Allah tentang larangan merusak lingkungan , QS. Al 'Araf: 56 Artinya: "Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya, dan berdo'a lah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak diterima) dan harapan (akan dikabulkan), sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik" Firman Allah tentang musibah yang terjadi disebabkan tangan manusia, QS. Asyu’ara: 30 Artinya: "Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar(dari kesalahan-kesalahan mu)" Firman Allah tentang wajib mematuhi peraturan yang ditetapkan pemerintah yang melarang penebangan dan menambang yang berlebihan, QS. An Nisa: 59 Artinya "Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya) dan Ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (Sunnah-Nya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah, dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya".
Hadis-hadis yang menerangkan wajib mentaati pemimpin (Pemerintah) di antaranya adalah : Artinya: "Hendaklah kalian bertaqwa kepada Allah dan mendengar serta mentaati (pemimpin) walaupun seorang yang berasal dari budak bangsa Habsyah".
Sedangkan kaidah-kaidah fiqh yang digunakan adalah: Kebijakan Pemerintah harus untuk mewujudkan kemaslahatan masyarakat : Artinya: "Kebijakan (peraturan) pemerintah dalam mengatur rakyat haruslah berdasarkan kemaslahatan".
Peraturan pemerintah yang mengatur hal yang mubah yang dianggap menjadi kemaslahatan umum dan apa yang telah ditetapkan itu wajib ditaati: Artinya: "Pemerintah memerintahkan untuk melakukan sesuatu yang mubah yang dianggap membawa kepada kemaslahatan umum, dan apa yang diperintah (diatur) itu hukumnya wajib ditaati".
Peraturan pemerintah tersebut menjadi bagian hukum syara' (agama) yang wajib ditaati oleh semua orang: Artinya: "Peraturan pemerintah menjadi bagian hukum syara' ( agama) yang wajib ditaati oleh seluruh masyarakat untuk melaksanakannya"
Kesadaran ulama tentang bahayanya kerusakan lingkungan semakin masif dengan munculnya beberapa ulama NU dalam Halaqoh (pertemuan) Gerakan Nasional Kehutanan dan Lingkungan Hidup Pengurus Besar Nahdlatul Ulama’ (GNKL PBNU) juga turut memberikan Taushiyah tentang Pelestarian Hutan dan Lingkungan Hidup (NU Advice on Forest Protection and Environment) pada tanggal 20-23 Juli 2007 di Jakarta. Dalam taushiyahnya mendorong pemerintah Republik Indonesia, wajib bersikap dan bertindak secara nyata dalam melenyapkan usaha-usaha perusakan hutan, lingkungan hidup dan kawasan pemukiman, memberantas penyakit sosial kemasyarakatan, menuntaskan problematika ekonomi serta memerangi praktek-praktek ekonomi yang merugikan masyarakat, bangsa dan negara demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui penegakan supremasi hukum. Pencemaran lingkungan baik udara, air maupun tanah, akan menimbulkan dharar (kerusakan), hukumnya dinyatakan haram dan termasuk perbuatan kriminal (jinayat).
Adapun yang mendasari Tausiah Ulama NU Terdapat 3 (tiga) aspek, yaitu: pertama krisis ekologi yang dapat dilihat dari parahnya kerusakan hutan, punahnya sumber-sumber mata air keanekaragaman hayati, perubahan iklim secara ekstrem, pencemaran udara, pencemaran laut pencemaran daerah aliran sungai dan perusakan kawasan masyarakat akibat kecerobohan industrialisasi, penggunaan bahan kimia, bahan uranium dan penggunaan teknologi secara massal yang membahayakan keberlanjutan kehidupan manusia dan bumi, serta mengakibatkan bencana alam, banjir, gempa bumi, angin puting beliung, tanah longsor dan rusaknya kawasan pertambangan dan sekitarnya. Kedua krisis kemasyarakatan yaitu berkembangnya sikap tidak percaya antar masyarakat kepada pemerintah, lemahnya penegakan supremasi hukum, parahnya dekadensi moral, menguatnya individualisme, hilangnya jati diri bangsa dan menipisnya rasa cinta tanah air, meningkatnya sifat konsumtif hedonisme, penyakit korupsi, penyakit malas dan kegemaran mengambil jalan pintas, yang menghalalkan segala cara dan mengakibatkan banyak kerusakan di muka bumi, dan Ketiga, krisis ekonomi yaitu meningkatnya jumlah pengangguran dan kemiskinan, dan energi nasional, melemahnya daya saing produk dalam negeri akibat penetrasi pasar global.
Peran aktif ulama Islam di Indonesia terutama sejak dua tahun terakhir disambut dengan antusias oleh berbagai kalangan untuk menjadi pemecah kebuntuan dalam penyelesaian persoalan lingkungan. Indonesia dengan populasi muslim yang paling besar di dunia dengan wilayah hutan dan keanekaragaman flora dan fauna diharapkan menjadi pelopor dalam hal ini.
Menurut Khalid, fatwa ulama mempunyai kekuatan yang luar biasa tetapi tidak cukup mudah untuk menjalankannya, termasuk memicu kesadaran pada lingkungan. Hal ini sesuai dengan penjelasan Azis bahwa aspek yang paling dominan mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat biasanya tergantung pada sistem nilai yang dipegang oleh masyarakat itu sendiri baik dimensi ekonomi dan pendidikan, adat istiadat atau budaya setempat serta agama. Untuk itu, Khalid menjelaskan bahwa ulama bisa menggunakan media khotbah jumat (pengajian) atau bersinergi dengan politisi sebagai salah satu jalan untuk menggulirkan fatwa tersebut menjadi sebuah proses politik.

Fiqh Al-Bi'ah Sebagai Solusi Alternatif terhadap kerusakan lingkungan: Catatan Penutup

Pemanasan global dan perubahan iklim bukan saja menjadi ancaman dan kekhawatiran masyarakat di Barat, juga menjadi kepedulian akan dampaknya di dunia Islam. Perubahan iklim disamping telah dirasakan dengan adanya penambahan curah hujan 2-3% setiap tahun, juga membawa dampak, misalnya dengan meningkatknya tinggi permukaan laut di teluk Jakarta sebanyak 0.57 cm per tahun. Peristiwa ini telah terbukti, ketika pasang naik, beberapa kawasan di teluk Jakarta Utara, mulai terendam. Diperkirakan, tahun 2050, kawasan padat penduduk di Jakarta Utara akan tenggelam. Di samping itu, perubahan iklim juga akan berdampak terdahap produktifitas lahan akibat sebagian pinggir pantai terendam, yang berdampak pada penurunan 95% kemampuan lokal dalam produksi padi. Di sisi lain besaran kehilangan kawasan hutan selama periode 1997-2004 sebesar 4-7 kali luas lapangan bola per menit atau setara dengan 2-3,8 juta ha per tahun. Dalam ruang lingkup yang lebih kecil, telah nampak pula bagaimana kawasan sempadan sungai di Aceh Tamiang senantiasa menggenangi rumah dan lahan-lahan pertanian penduduk karena semakin berkurangnya kawasan resapan air. Keanekaragaman hayati yang terbentuk selama ribuan tahun sebagai rahmat Allah SWT dihancurkan secara cepat oleh berbagai kepentingan banyak pihak mulai dari militer, birokrasi, pengusaha, individu, ormas hingga rakyat jelata.
Sebagai negara berkembang yang baru saja ingin bangkit, negara-negara muslim harus berhadapan pada dualisme keadaan: antara pembangunan ekonomi yang bertumpu pada pengurasan kekayaan sumber daya alam, dan keadaan lingkungan yang telah sangat cepat berubah sehingga menimbulkan krisis dan kekhawatiran yang akan menimpa. Sayangnya— seperti disadari oleh para cendekiawan muslim —ternyata selama ini pendekatan yang dilakukan untuk menggalang kesadaran lingkungan di negara-negara Muslim justru kebanyakan diadopsi berdasarkan pengetahuan dari Barat. Begitu pula adopsi sistem kawasan lindung termasuk konservasi hutan (taman nasional) dan manajemen kawasan-kawasan konservasi yang banyak mengambil pelajaran dari sistem Amerika Utara. Secara umum terminologi lingkungan hidup memang lebih banyak menggunakan kosa kata dari peradaban barat, seperti “Agenda 21”, Habitat, dan “Greenhouse effect”, “Ecolabeling”, dan “Sustainable Development”. Sehingga tumbuh anggapan yang salah bahwa hanya ahli-ahli dari negara baratlah yang menguasai masalah lingkungan hidup. Padahal untuk seorang muslim masalah lingkungan hidup sifatnya inheren sebagai bagian dari kepribadian. Namun kenyataannya banyak yang secara tidak sengaja memisahkan masalah lingkungan hidup dari urusan agama. Hal ini terjadi akibat ketidaktahuan mereka bahwa ternyata ajaran agama Islam banyak membahas soal pelestarian alam—termasuk merawat lingkungan dan mencegah penebangan hutan— atau kurangnya sosialisasi sehingga sukar dimengerti oleh masyarakat bahwa perawatan terhadap lingkungan adalah merupakan salah satu yang diwajibkan dalam Islam.
Munculnya wacana Fiqh Al-Bi'ah dalam kalangan ulama merupakan terobosan paradigma baru untuk melakukan pengelolaan lingkungan melalui sebuah ajaran religi dan sebagai solusi alternatif dalam pengelolaan lingkungan sehingga hak atas lingkungan bukan hanya milik orang Barat melainkan hak bagi setiap umat di dunia. Indonesia yang notabene masyarakatnya umat Islam kesadaran kelestarian lingkungan hidup ditentukan oleh peran para ulama dan kiyai yang berperan serta dalam pelestarian lingkungan. Oleh karena itu keluarnya fatwa mengenai pemanasan global pada pertengahan 2007 dan dua fatwa tahun sebelumnya yang menentang pembakaran dan penggundulan hutan menunjukkan betapa ulama Indonesia telah membuat lompatan maju dibanding ulama di negara Islam lainnya.









DAFTAR PUSTAKA

Alim, Yusmin, Artikel: Lingkungan dan Aksioma Kerakusan. 19 September, 2007. http://agamadanekologi.blogspot.com. Diakses pada 1 Mei 2008.

------------------, Artikel : Lingkungan dan Kadar Iman Kita. 27 Juni 2006 http;//www.hidayatullah.com. Diakses pada 29 April 2008.

Anonymous,Ulama Internasional Membahas Lingkungan Dalam Persfektif Islam. DKM 'Ibaadurrahmaan. Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor. 2007.

‘Afi, Hafiz Abu Bakr Ahmad ibn Husain ibn, Sunan al-Baihaqi, Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1992

Bateson, Gregory, Step an Ecology of Mind, Paladin: t.p. 1973.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. II Jakarta: Balai Pustaka, 2002.

Djamil, Fathurahman, Filsafat Hukum Islam, cet. I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Gazali, Hatim (2005). Mempertimbangkan Gagasan Eco-Theology. http://islamlib.com. Diakses pada 28 April 2008.

Harahap, Adnan, Islam dan Lingkungan Hidup, Jakarta: Yayasan Suara Bhumy, 1997

Keraf, A. Sonny, Etika Lingkungan, Jakarta: Kompas, 2002

_______, “Tiga Prioritas Dalam Menanggulangi Lingkungan Hidup di Indonesia”, Kompas, 7 Juni, 1973

Mangunwijaya, Fachruddin M., 2008). Dunia Islam dan Perubahan Iklim. Tropika/Conservation International Indonesia

Nasution, Harun, Ensiklopedi Islam Indonesia Jakarta: Djambatan, 1992.

Khalid, Fazlun M., 2007. Islam dan Lingkungan Hidup: Umat Islam Indonesia Kabar Gembira Bagi Bumi. http://greenpressnetwork.blogspot.com. Didownload tanggal 29 April 2008 pk. 09.45.

Qardhawi, Yusuf al-, Islam Agama Ramah Lingkungan. Abdullah Hakam Shah, dkk. (terj.)., Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002.

Rasjidi, M, Hukum Islam dan Pelaksanaannya dalam sejarah, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.

R.F Schumacher dalam A Guide for the Perplexed (1981)

Sakho Muhammad, Ahsin, dkk., Fiqih Lingkungan, Jakarta: INFORM, 2004.

Soemarwoto,Otto, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pengembangan, Jakarta: Djambatan, 2001.

Sonny, Keraf A, Sonny, “Tiga Prioritas Dalam Menanggulangi Lingkungan Hidup di Indonesia”, Kompas, 7 Juni 1973.

Yafie, Ali, Merintis Fiqh Lingkungan Hidup, Jakarta: Yayasan Amanah, 2006.

Zainal. Kelestarian Lingkungan dalam Perspektif Islam. http:// www.bangrusli.net. Diakses pada 29 April 2008.

http://www. muslimhands.org. Diakses tanggal 08 Februari 2007.

Kamis, 18 Februari 2010

REKONTRUKSI TEOLOGI ISLAM KLASIK : DARI TEOSENTRISME KE ARAH ANTROPOSENTRISME

Abstrak
Merekontruksi teologi Islam klasik merupakan sebuah keniscayaan. Karena dengan mempertahankan doktrin-doktrin teologi Islam klasik yang lebih cenderung kepada trend teosentris atau Ketuhanan (theos) yang menjadi pembahasan pokok teologisnya telah jauh menyimpang dari misinya yang paling awal dan mendasar, yaitu liberasi atau emansipasi umat manusia. Rumusan klasik di bidang teologi pada hakikatnya tidak lebih dari sekumpulan diskursus keagamaan yang kering dan tidak punya kaitan apapun dengan fakta-fakta nyata kemanusiaan. Paradigma teologi klasik yang ditinggalkan para pendahulu hanyalah sebentuk ajaran langitan, wacana teoritis murni, abstrak-spekulatif, elitis dan statis; jauh sekali dari fakta-fakta nyata kemanusian dan kenyataan sosial kemasyarakatan. Padahal, semangat awal dan misi paling mendasar dari gagasan teologi Islam (Tauhid) sebagaimana tercermin di masa Nabi saw. sangatlah liberatif, progresif, emansipatif dan revolutif.
Disamping itu, kita membutuhkan formulasi teologi Islam kontemporer sebagai sintesis dari perkembangan pemikiran manusia kontemporer yang diakibatkan oleh perubahan sosial yang dibawa oleh arus ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam perspektif perkembangan masyarakat modern dan postmodern, Islam harus mampu meletakkan landasan pemecahan terhadap problem kemanusiaan (kemiskinan, ketidakadilan, hak asasi manusia, ketidakberdayaan perempuan dan sebagainya). Oleh karena itu, diskursus teologi Islam kontemporer adalah isu-isu kemanusiaan universal, pluralisme keberagamaan, kemiskinan struktural, kerusakan lingkungan, dan sebagainya. Dengan demikian, agar Islam lebih survive dalam menghadapi dunia modern dan postmodern, maka perlu adanya perubahan diskursus teologi Islam yang pada mulanya hanya berbicara tentang Tuhan (teosentris) beralih pada persoalan-persoalan kemanusiaan universal (antroposentris).

Kata Kunci: Teologi Islam, Teosentris, antroposentris



A. Pendahuluan
Dalam sejarah awal perkembangan Islam, ajaran keesaan Tuhan (tauhid) merupakan tugas pokok pertama Nabi saw yang harus disampaikan dan didakwahkan kepada umatnya. Tauhid menempati struktur hierarkis paling istimewa dalam keseluruhan sistem serta bangunan keberagamaan kaum Muslim. Keabsahan semua rangkaian upacara keagamaan mereka sangat bergantung pada eksistensi tauhidnya.
Di samping mempengaruhi keabsahan ritual keagamaan, tauhid juga berfungsi mengendalikan gerak, tindakan dan dinamika kemanusiaan. Secara sosiologis, konsep tauhid ikut mengarahkan, membentuk dan menentukan kualitas perilaku individu maupun komunitas umat Islam. Semakin tinggi kualitas tauhidnya, semakin tinggi pula tingkat perilaku keimanan sosialnya. Refleki dari ketinggian kualitas tauhid ini dengan sangat baik dicontohkan oleh para pahlawan (mujahid) Muslim yang berperang demi menegakkan kalimat ilahi dan menyebarkan dakwah keislaman. Orang dengan kualitas tauhid yang mumpuni tidak mengenal rasa takut, menjadi pemberani dan rela berkorban segalanya demi meraih cita-cita tegaknya kalimat Allah, termasuk mengorbankan nyawanya sendiri.
Dengan demikian, pandangan dunia (world view) tauhid sangat mempengaruhi pola pikir, pola bertindak, gaya dan cara memandang realitas, strategi aksi serta bentuk relasi sosial antar manusia. Dalam konteks ini, tauhid sangat mirip sebuah ideologi; sebut saja ideologi ketuhanan atau ideologi kehidupan (way of life) yang memberi arahan ideal bagi terwujudnya tatanan sosial yang dikehendaki. Tentunya ideologi dalam pengertian sebagai sebuah kumpulan ide, konsep dan gagasan yang menjadi referensi praksis untuk menggapai tujuan-tujuan yang diinginkan. Tauhid dalam formulasi semacam ini berkembang pada masa-masa awal kelahiran Islam.
Berdasarkan analisis sejarah para pakar, doktrin tauhid yang dikembangkan Nabi Muhammad saw berwatak dinamis, progresif dan liberatif. Ketika itu, tauhid dipahami sebagai ajaran yang menyeru umat manusia untuk hanya menyembah kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa; menghambakan diri kepada-Nya; menyerahkan totalitas eksistensial kemanusiaan kepada-Nya dan mengesakan-Nya dari segala bentuk penyembahan, ketundukkan, kepatuhan, ketaatan dan penghambaan diri kepada selain-Nya. Tauhid demikian berkarakter subversif: menantang mainstream status quo dan memberontak terhadap segala struktur kuasa maupun sosial yang hegemonik, tiranik dan sewenang-wenang. Doktrin tauhid benar-benar revolusioner dan transformatif.
Namun, seiring perkembangan sejarah dan peradaban kemanusiaan, doktrin tauhid mulai mengalami pergeseran secara signifikan. Diskursus teologi yang pada awalnya berkorelasi kuat dengan kenyataan aktual kemanusiaan, direduksi sedemikian rupa menjadi kumpulan wacana spekulatif yang tidak ada sangkut pautnya dengan kenyataan yang hidup dalam gerak sejarah. Berkembangnya tradisi keilmuan baru yang mewujud pada kerja sistematisasi, penyusunan formal (al-tadwin) dan spesialisasi bidang keilmuan, menyebabkan doktrin-doktrin tauhid tertransformasi ke dalam bangunan doktrinal baku, tertutup, teoritik dan kurang memiliki daya dorong sosial. Tauhid hanya mampu bergaung dalam karya-karya tulis, bukan berkibar di medan-medan tempur sebagaimana pada zaman Nabi Muhammad saw. Demikianlah, ajaran tauhid kehilangan fungsi transformasinya. Ironisnya, pemahaman ajaran tauhid model ini yang kemudian diwarisi generasi umat Islam hingga sekarang.
Berpijak pada kemandegan pemikiran di bidang teologis yang tidak lagi memiliki fungsi sosial transformatif inilah, diperlukan penggalian ulang spirit of theology yang leberatif, progresif dan berkorelasi sebagai jawaban dari perkembangan pemikiran manusia kontemporer yang diakibatkan oleh perubahan sosial yang dibawa oleh arus ilmu pengetahuan dan teknologi dengan mengubah diskursus teologi Islam dari berbicara tentang Tuhan (teosentris) sebagai core teologinya beralih pada persoalan-persoalan kemanusiaan universal (antroposentris).
Dalam konteks ini pembahasan tulisan ini difokuskan agar bisa keluar dari kungkungan dogmatis dan menawarkan metode pendekatan baru agar bisa menjaring aneka pengalaman kemanusiaan dan sosial kekinian untuk kemudian dibedah dan dianalisis sesuai dengan cara kerja ilmu kalam.

B. Nama dan Definisi Teologi Islam
Teologi Islam merupakan istilah lain dari ilmu kalam, yang diambil dari bahasa Inggris, theology. Ilmu kalam ini oleh berbagai pakar diistilahkan beragam nama, antara lain: Abu Hanifah (w.150H/767M) memberinya nama dengan istilah ‘Ilmu Figh al-Akbar.(Mustofa,1959:265) Imam Syafi’ie (w.204/819M), Imam Malik (w.179H/795M), dan Imam Jakfar as-Sadiq (148H/765M) memberinya nama ‘Ilmu Kalam, dengan istilah tokohnya Mutakallimin. Imam As-Asy'ari (w.324H/935M), al-Bagdady (w.429H/1037M), dan beberapa tokoh al-Azhar University memberinya nama dengan istilah 'Ilmu Ushul al-Din. Al-Thahawi (w.331H/942M), al-Ghazali (w.505H/1111M) al-Thusi (w.671H/1272M), dan al-Iji (w.756H/1355M) memberinya nama dengan istilah 'Ilmu al-Aqa'id. Abdu al-Jabbar (w.415H/1024M) memberinya nama dengan istilah 'Ilmu al-Nadhar wa al-Istidlal. Al-Taftazani memberinya nama dengan istilah 'Ilmu al-Tauhid.(M.Abdel Haleem, 1996:74-75) Harry Austyn Wolfson memberi nama dengan istilah The philosophy of Kalam. (Harry Sustyn Waolfson, 1976: th) Ahmad Mahmud Shubhy memberinya nama dengan istilah 'Ilmi Kalam. M. Abdel Haleem memberi nama dengan istilah Speculative Theology. (M.Abdel Haleem, 1996:74-75) CA Qadir memberi nama dengan istilah Dialectica Teology.(C A Qadir, 1989:46) Sementara itu Harun Nasution (w.1998 M) memberi nama dengan istilah Teologi Islam. (Harun Nasution, 1986:31)
Berkenaan dengan itu, terdapat para pakar yang mendefinisikan Ilmu Kalam sebagai discourse or reason concerning God (diskursus atau pemikiran tentang Tuhan) (William L Resse, 1980:28) Bahkan dengan mengutip istilah yang diberikan oleh William Ochkam, L Resse menyatakan bahwa "Theology to be a discipline resting on revealed truth an independent of both philosophy and science". (Teologi merupakan sebuah disiplin ilmu yang meletakkan kebenaran wahyu, lewat argumen filsafat dan ilmu pengetahuan yang independen). (William L. Resse, 1980:28-29) Dengan nada yang hampir sama Ibn Kaldun yang menyatakan bahwa teologi atau kalam adalah ilmu yang menggunakan bukti-bukti logis dalam mempertahankan akidah keimanan dan menolak pembaharu yang menyimpang dalam dogma yang dianut kaum muslimin pertama dan ortodok Muslim. (Ibn Kaldun, 2001:589)
Dengan demikian, secara singkat tauhid berisi pembahasan teoritik menyangkut sistem keyakinan, sistem kepercayaan (kredo) dan struktur akidah kaum Muslim berdasarkan rasio dan wahyu. Tujuan akhir ilmu ini adalah pembenaran terhadap akidah Islam serta meneguhkan keimanan dengan keyakinan. Karena itu, Tauhid memiliki posisi penting dalam mekanisme keberagamaan umat Islam, karena berisi pokok-pokok ajaran yang sifatnya mendasar, atau—meminjam bahasa Hanafi—karena mengkaji obyek yang paling mulia, yaitu Allah.

C. Teologi Islam dalam Lintasan Sejarah
Ilmu kalam lahir sebab polemik hebat antara sesama umat islam sendiri, ataupun antara umat islam dengan pemeluk agama lain. Keretakan ini sesunguhnya sudah mulai terbentuk setelah Rasul wafat, akan tetapi membesar secara cepat pada masa pemerintahan khalifah ketiga yakni Utsman bin Affan dan berpuncak pada peristiwa keputusan, yaitu upaya penyelesaian sengketa antara Ali ibn Thalib dan Mu'awiyah ibn Abi Sufyan pada perang Siffin. Peristiwa Tahkim inilah yang kemudian melahirkan aliran atau madhab dalam ilmu kalam (teologi).
Dalam konteks ini, Harun Nasution menyimpulkan bahwa kemunculan persoalan kalam dipicu oleh persoalan politik. Sikap Ali yang menerima tahkim (arbitrase) pada perang Siffin tersebut memunculkan ketidakpuasan pihak pasukan Ali ibn Thalib dan keluar dari barisannya. Mereka berpendapat bahwa persoalan yang terjadi pada saat itu tidak dapat diputuskan melalui tahkim dan menuduh Ali ibn Thalib telah melakukan dosa besar. Mereka itu dipelopori oleh Asy'ts ibn Qayis yang dalam perkembangan sekanjutnya mereka itu disebut Khawarij. (Harun Nasution, 1986:31) Selain pasukan yang membelot Ali ibn Abi Thalib pada perang Siffin, ada pula sebagian besar yang tetap mendukung Ali. Menurut Watt, kelompok inilah yang kemudian memunculkan kelompok Syi'ah. (W.Montgomery Watt, 1987:10)
Khawarij, dianggap sebagai kelompok politik pertama yang kemudian memunculkan persoalan teologi ketika kaum Khawarij mempersoalkan siapa yang kafir di kalangan kaum Muslimin dan siapa yang bukan kafir. Khawarij menghukumi orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim sebagai orang yang kafir kerena telah melakukan dosa besar. (Harun Nasution, 1986:3)
Sebagai reaksi dari fatwa khawarij ini sebagai umat Islam yang dipelopori oleh Ghailan Dimasqy, tidak menerima akan fatwa tersebut. Mereka ini dalam perkembangan selanjutnya menjadi mazhab Murji'ah. Menurut mereka, karena fatwa itu tidak didukung oleh nash, maka kepastian hukumnya ditunda saja, diserahkan kepada Allah di akhirat kelak. (W.Montgomery Watt, 1987:21)
Secara spesifik kelompok yang dapat disebut sebagai mazhab kalam atau teologi pertama terdapat pada Qadariyah dan Jabariah. Mazhab Qadariyah didirikan oleh Ma'bad ibn Khalid al-Juhani (79H/699M). Mazhab ini berpandangan bahwa manusia mampu berbuat dan karena itu bertanggung jawab atas perbuatannya. Ayat-ayat al-Qur'an seperti tangan Tuhan, Tuhan melihat, dan mendengar dipahami secara ta'wil atau qiyas, dan bukan ditafsirkan secara harfiah.(Ahmad Amin, 1942:284)
Paham Qadariyah mendapat perlawanan dari paham Jabariyah yang dipelopori oleh Jahm ibn Shafwan (127H/745M). Pandangan utama paham ini adalah bahwa semua perbuatan manusia ditentukan oleh kuasa Tuhan termasuk keimanan, kebajikan dan kejahatnnya. Manusia dalam hal ini tergantung dari kekuasaan atau paksaan Allah dalam segala kehendak dan perbuatannya; kerena itu tidak ada kekuasaan manusia untuk melakukan pilihan atas segala perbuatannya.(Asy-Syahrastani, tt: 85).
Sementara persoalan dosa besar yang diperdebatkan antara Khawarij dan Murji'ah kemudian dilanjutkan oleh Mu'tazilah yang dipelopori oleh Wasil ibn Atho'. Mu'tazilah inilah, menurut Nurcholis Madjid, sebagai pelopor yang sungguh-sunggguh digiatkannya pemikiran tentang ajaran-ajaran pokok Islam secara lebih sistematis. Paham mereka amat rasional sehingga mereka dikenal sebagai paham rasionalis Islam. Sikap rasionalik ini dimulai dari titik tolak bahwa akal mempunyai kedudukan tinggi bahkan kedudukannya boleh dikatakan sama dengan wahyu dalam memahami agama.(Nurcholis Madjid, tt:21).
Aliran Mu'tazilah yang bercorak rasional mendapat tantangan keras dari golongan tradisiona Islam, terutama golongan Hanbai, yaitu pengikut-pengikut mazhab ibn Hambal. Mereka yang menentang ini kemudian mengambil bentuk aliran teologi tradisonal yang dipelopori Abu Al-Hasan Al-Asy'ari (w. 324H/935M).(Abdurrahman Badawi, 1984:497) Disamping aliran Asy'ariyah, timbul pula suatu aliran di Samarkand yang juga bermaksud menentang aliran Mu'tazilah. Aliran ini didirikan oleh Abu Mansur Muhammad Al-Maturidi (w.333H/944M). Aliran ini kemudian terkenal dengan nama teologi Al-Maturudiyah.(H.AR. Gibb, 1960:414)
Dari uraian pemikiran-pemikiran kalam diatas setidak-tidaknya kita dapat menunjukkan terhadap doktrin-doktrin teologi Islam yang kalau di rangkum sebagai berikut:

1. Kebebasan dalam berkehendak (Free Will)
Membahas masalah perbuatan manusia, yang menyangkut penegasan apakah itu merupakan suatu tindakan yang ditentukan oleh manusia ataukah di ikuti oleh campur tangan Tuhan. Disini al-Asy’ari telah mengeluarkan pendapatnya bahwa semua tindak-tanduk manusia adalah ciptaan Tuhan, sedangkan manusia hanya memiliki upaya (al-kasb) untuk bertindak. Atau dengan kata lain al-Asy’ari telah membedakan antara al-Khaliq dan al-kasb. Hingga berkesimpulan bahwa segala sesuatu itu tidak memiliki pengaruh apapun secara dzatiah nya akan tetapi yang memiliki pengaruh haqiqi dari semua itu hanyalah Allah swt.(Abu Al-Hasan Al-Asy'ari, 1903:9) Berbeda dengan Mu’tazilah yang mengatakan bahwa semua perbuatan manusia yang bersifat al-Ikhtiariyah berasal dari manusia itu sendiri akan tetapi bergantung pada kekuasaan Allah terhadap hamba-Nya. Disini posisi manusia adalah sebagai pemilih dan bukanlah penentu. Karena Allah telah menganugerahkan manusia akal agar dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, lalu mengutus Rasul-Nya agar dapat memberikan petunjuk kepada manusia akan apa yang diperintahkan dan dilarang Allah kepada seluruh umat manusia.(Abdul Al-jabbar bin Ahmad, 1965:227) Jabariyah dalam hal ini berpendapat bahwa manusia adalah penentu dan bukan pemilih, tetapi semuanya tetap ciptaan Allah.

2. Melihat Allah
Perdebatan sengit antara al-Asy’ari dengan kaum ortodoks ekstrim terutama Dzahiriyah yang berpendapat bahwa Allah bisa dilihat dan Allah bersemayam di Arsy’ memanglah cukup menggemparkan. Ditambah lagi dengan ketidak setujuannya terhadap paham Mu’tazillah yang ternyata berkata lain. Mu’tazilah berpendapat bahwa Allah tidak mungkin dapat dilihat di dunia maupun di akhirat.(Yusuf,1990:92-3) Sedangkan al-Asy’ari menyatakan kepercayaannya bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi dengan tata cara yang tidak dapat diketahui secara logika dan hanya Allah lah yang mengetahuinya. Sebagaimana ilmu tentang keadaan akhirat yang ghoib, maka tidak akan ada satu orang pun yang mampu menerangkannya. Al-Asy’ari kembali menegaskan bahwa Allah dapat (jaiz) dilihat oleh para mukmin di dunia dan wajib untuk terlihat bagi para mukmin yang masuk ke dalam surga-Nya. (Al-Asy'ari, 1903:9)

3. Tuhan dan sifat-sifat-Nya
Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Dengan kelompok Mujasimah (antropomorfis) dan kelompok Musyabbihah yang berpendapat, Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan sunnah, dan sifat-sifat itu harus difahami menurut arti harfiyahnya. Kelompok mutazilah berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain adalah esensi-esensinya. (Asy-Syahrastani, 1990: 46).
Sementara Al-Asy’ari snediri berpendapat bahwa sifat-sifat yang dimiliki oleh Allah bukanlah esensinya dan juga bukan berarti keluar dari esensi tersebut. Ia memiliki sifat yang melebihi segalanya dan berdiri bersama dengan zat itu sendiri tanpa ada satupun yang dapat menyetarakan-Nya. (C A Qadir, 1991:67-8)

4. Akal dan wahyu dan kriteria Baik dan Buruk
Walaupun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah mengutamakan akal. (C A Qadir, 1991: 70)
Dalam menetukan baik burukpun terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Al-Asy'ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan Mu'tazilah mendasarkan pada akal. (Asy-Syahrastani, 1990: 115).

5. Qadimnya Al-Qur'an
Mu’tazilah mengatakan bahwa Al-Qur'an merupakan sesuatu yang diciptakan (makhluk dan muhdits) sehingga dia tidak qadim. Sedangkan pandangan mazhab Hambali tidak mengatakan apapun yang menyatakan bahwa Al-Qur'an adalah qadim akan tetapi menegaskan bahwa ia adalah kalam Allah yang tidak diciptakan. Madzhab ini pun lantas menolak segala bentuk penambahan atau perincian maupun penentuan yang bersangkutan dengan hal tersebut. Al-Zahiriyah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata dan bunyi Al-Qur'an adalah qadim. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur'an terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim. (C A Qadir, 1991: 70)

6. Keadilan Tuhan
Pada dasarnya al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga ia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah penguasa mutlak. Dengan demikian, jelasnya bahwa Mu'tazilah mengartikan keadilan dari visi manusia yang memiliki dirinya, sedang Al-Asy'ari dari visi bahwa Allah adalah pemilik mutlak.
7. Kedudukan orang berdosa
Menurut al-Asy’ari mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur. Al-Asy'ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu'tazilah. Bagi Al-Asy'ari keimanan merupakan lawan dari pada kekufuran, jadi predikat bagi seseorang haruslah salah satu di antaranya. Sementara Mu’tazilah beranggapan bahwa orang yang berdosa besar akan berada pada posisi antara dua posisi (baina manzilatain). (Abdul Al-Qadir Al-Bagdadi, tt:351)

D. Kritik atas Teologi Islam Klasik
Kalau kita perhatikan bahasan tentang doktrin-doktrin teologi Islam klasik itu adalah trend teosentris. Tuhan dan Ketuhanan (theos) menjadi core teologisnya. Dengan perumusan diskursus terutama pada Tuhan dan ketuhanan, sudah barang tentu teologi semacam itu (hanya) relevan sebagai alas struktur dari religiusitas yang "membela" Tuhan, bukan manusia. Untuk konteks zaman pertengahan Hijriyah, ketika era formatis Islam masih berlangsung, boleh jadi masih menemuni signifikansinya. Namun, untuk kontek saat, tatkala dunia telah bergerak maju kearah dunia modern yang ditandai oleh kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, maka tidak dapat dielakkan lagi untuk merekontruksi teologi Islam yang asalnya membela Tuhan (teosentris) menuju keberpihakan kepada kemanusiaan (antroposentri) sebagai suatu rangka pikir untuk memahami kenyataan sekaligus suatu motivasi religius untuk membalik-mengubanya menjadi lebih baik.
Kritik terhadap Teologi Islam klasik telah banyak disuarakan oleh para pemikir Islam salah satunya adalah Hasan Hanafi, jauh-jauh hari telah menawarkan rekontruksi teologi Islam ke arah Antroposentrisme. Menurut Hanafi, sejarah Islam tentang teologi kenyataannya telah jauh menyimpang dari misinya yang paling awal dan mendasar, yaitu liberasi atau emansipasi umat manusia. Rumusan klasik di bidang teologi yang kita warisi dari para pendahulu Muslim pada hakikatnya tidak lebih dari sekumpulan diskursus keagamaan yang kering dan tidak punya kaitan apapun dengan fakta-fakta nyata kemanusiaan. Paradigma teologi klasik yang ditinggalkan para pendahulu hanyalah sebentuk ajaran langitan, wacana teoritis murni, abstrak-spekulatif, elitis dan statis; jauh sekali dari kenyataan-kenyataan sosial kemasyarakatan. Padahal, semangat awal dan misi paling mendasar dari gagasan teologi Islam (Tauhid) sebagaimana tercermin di masa Nabi saw. sangatlah liberatif, progresif, emansipatif dan revolutif. (Hassan Hanafi, tt: 205)
Menurut Fazkur Rahman, teologi atau berteologi haruslah dapat menumbuhkan moralitas atau sistem nilai etika untuk membimbing dan menanamkan dalam diri manusia agar memiliki tanggung jawab moral, yang dalam Al-Qur'an disebut taqwa. Secara pasti teologi Islam merupakan usaha intelektual yang memberi penuturan koheren dan setia dengan isi yang ada dalam Al-Qur'an. Teologi harus mempunyai kegunaan dalam agama apabila teologi itu fungsional dalam kehidupan agama. Disebut fungsional sejauh teologi tersebut dapat memberikan kedamaian intelektual dan spritual bagi umat manusia serta dapat diajarkan pada umat. (Romas, 2000:82)
Dalam perspektif perkembangan masyarakat modern dan postmodern, Islah harus mampu meletakkan landasan pemecahan terhadap problem kemanusiaan (kemiskinan, ketidakadilan, hak asasi manusia, ketidakberdayaan perempuan dan sebagainya). Teologi yang fungsional adalah teologi yang memenuhi panggilan tersebut, bersentuhan dan berdialok, sekaligus menunjukkan jalan keluar terhadap berbagai persoalan empirik kemanusiaan.
Berangkat dari hal itu, Amim Abdullah berasumsi bahwa tantangan kalam atau teologi Islam kontemporer adalah isu-isu kemanusiaan universal, pluralisme keberagamaan, kemiskinan struktural, kerusakan lingkungan, dan sebagainya. Teologi, dalam agama apapun yang hanya berbicara tentang Tuhan (teosentris) dan tidak mengkaitkan diskursusnya dengan persoalan-persoalan kemanusiaan universal (antroposentris), memilki rumusan teologis yang lambat laun akan menjadi out of date. Algur'an sendiri hampir dalam setiap diskursusnya selalu menyentuh dimensi kemanusiaan universal. (Amin Abdullah, 1995: 36)
Seharusnya teologi dan kalam yang hidup untuk era sekarang ini berdialog dengan realitas dan perkembangan pemikiran yang berjalan saat ini. Bukan teologi yang berdialok dengan masa lalu, apalagi masa silam yang terlalu jauh. Teologi Islam kontemporer tidak dapat tidak harus memahami perkembangan pemikiran manusia kontemporer yang diakibatkan oleh perubahan sosial yang dibawa oleh arus ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kalau kita analisis terdapat tiga kelemahan yang dimiliki oleh pembahasan teologi Islam klasik diantaranya. Pertama, Persoalan manusia, alam dan sejarah. Selama ini, yang ditonjolkan oleh ilmu kalam selalu saja pembahasan abstrak seputar eksistensi Tuhan, atribut-atribut yang melekat kepada-Nya, eksistensi malaikat, artikel-artikel eskatologis, kenabian, dan ha-hal teoritik lain yang tidak berkorelasi dengan kenyataan yang terjadi. Wacana kalam klasik tidak lagi mamiliki hubungan harmonis dengan kenyataan riil kemanusiaan. Dan ini adalah distorsi besar-besaran terhadap sejarah dan ajaran Islam, karena sebelumnya teologi sangat lekat dengan antropologi.
Kedua, eksistensi teologi Islam tradisional dalam paradigmanya yang spekulatif, teoritik, elitik, statis dan kehilangan daya dorong sosial serta momentum perlawanannya. Selama ini artikel-artikel teologi klasik hanya penuh dengan refleksi keimanan murni; menggambarkan keimanan sema-mata dan tidak berkaitan dengan kemanusiaan nyata. Gaya pembahasan seperti ini sangat berbahaya, sesuatu yang tak berarti dan hampa makna.
Ketiga, paradigma teologi klasik Islam sudah saatnya diperbaharui (reformasi), dipahami ulang (rekonstruksi) dan dirumuskan kembali (reformulasi) dalam modelnya yang baru dan progresif, karena sudah tidak relevan dengan tuntutan modernitas, gerak sejarah dan dinamika perkembangan zaman.
Bertolak dari kelemahan-kelemahan ilmu kalam di atas, tampaknya dekontruksi terhadap ilmu ini merupakan sebuah keniscayaan. Dekontruksi tidak hanya berarti membongkar kontruksi yang sudah ada. Didalam dekontruksi tetap diperlukan usaha-usaha yang mengiringinya, yaitu merekontruksi apa yang seharusnya merupakan tuntutan baru. Tujuan dekontruksi adalah melakukan "demitologisasi" konsep atau pandangan-pandangan yang ada, yang telah menjadi "teks sakral" dan mitos keilmuan dalam dunia Islam. Untuk mencapai itu, perlu dilakukan pembongkaran melalui gagasan kritis dan mendasarkan tipe rasionalitas yang seharusnya menjadi alas ilmu tersebut, serta secara modern menilai kembali wahyu sebagai gejala budaya dan sejarah yang komplek.
Pada titik ini, Hasan Hanafi melihat perlunya pergeseran paradigma dari yang bercorak tradisional, yang bersandar pada paradigma logico-metafisika (dialektika kata-kata), kearah teologi yang mendasarkan pada paradigma "empiris" (dialektika sosial politik). Teologi bukan tentang ilmu semata, tetapi menjadi ilmu kalam (ilmu tentang analisis kalam atau ucapan semata dan juga sebagai konteks ucapan, yang berkaitan dengan pengertian yang mengacu pada iman). Jadi, teologi adalah juga antropologi dan hermeneutika. Sebagai hermenuetika, teologi berarti suatu teori pemahaman tentang proses wahyu dari huruf sampai ketingkat kenyataan, dari logos ke praktis, dan juga transformatika wahyu dari "pikiran" Tuhan kedalam kehidupan manusia. Untuk itu, diperlukan "kesadaran historis" yang menentukan keaslian teks dan tingkat kepastiannya; "kesadaran eidetik", yang menjelaskan makna teks menjadi rasional; dan "kesadaran praktis" yang menggunakan makna tersebut sebagai dasar teoretik tindakan dan mengantarkan wahyu pada tujuan akhir dalam kehidupan manusia didunia. (Romas, 2000:18-9)

E. Rekonstruksi Teologi Islam Klasik: Dari Teosentrisme Ke Antroposentrisme
Urgensi dari penghadiran suatu kontruk teologi yang bersifat transformatik dan membebaskan bertolak pada tujuan utama di syari'atkan Islam pada dasarnya adalah revolusi kemanusiaan dan ide-ide pembebasan merupakan salah satu tema pokok dalam Islam. Ide-ide tersebut adalah al-'adalah (keadilan), al-musawamah (egalitarianisme, kesetaraan;persamaan derajat), dan al-hurriyah (kebebasan). Tiga ide tersebut dalam konteks teologi yang transformatif perlu adanya rekonstruksi atau redefinisi makna teologi.
Selama ini teologi lazim dimaknai sebagai suatu diskursus seputar Tuhan. Namun, dalam kerangka paradigma transformatif, teologi semestinya tidak lagi difahami (semata-mata) sebagaimana pemaknaan yang dikenal dalam wacana kalam klasik itu, yakni suatu diskursus tentang Tuhan yang sangat teosentris, yang secara etimologi merujuk pada akar kata theos dan logos. Ia seharusnya dimaknai dan dipahami sebagai sungguh-sunguh ilmu kalam, ilmu tentang perkataan. Tuhan dalam hal itu tercermin dalam kata logoly, sebab person Tuhan tidaklah tunduk ada ilmu. (Hasan Hanafi, 1991:45)
Gagasan tentang reformasi (atau rekonstruksi) teologi tradisional diperlukan untuk mengubah orientasi perangkat konseptual sistem kepercayaan sesuai dengan perubahan konteks sosial politik yang terjadi. Teologi tradisional Islam lahir dalam konteks sejarah ketika inti sistem kepercayaan Islam, yaitu Transendensi Tuhan diserang oleh wakil-wakil dari sekte-sekte dan budaya-budaya kuno. Teologi dimaksudkan untuk mempertahankan doktrin utama dan untuk memelihara kemurnian iman. Dialektika berasal dari dialog dan mengandung pengertian saling menolak; hanya merupakan dialektika kata-kata, bukan konsep-konsep tentang alam, manusia, masyarakat atau sejarah.
Sekarang ini konteks sosial politik telah berubah. Islam mengalami berbagai kekalahan di berbagai medan pertempuran sepanjang periode kolonisasi. Karena itu, kerangka konseptual lama masa-masa permulaan, yang berasal dari kebudayaan klasik harus dirubah menjadi kerangka konseptual baru, yang berasal dari kebudayaan modern.
Menurut Hanafi, sebagai ilmu perkataan, teologi merupakan ilmu tentang analisis percakapan, dan sebagai bentuk ucapan sekaligus sebagai konteks, ia adalah pengertian yang mendasarkan diri pada iman. Karena itu teologi, sebagaimana antropologi, juga bermakna ilmu-ilmu tentang manusia, merupakan tujuan perkataan sekaligus sebagai analisis perkataan. Hasilnya, teologi merupakan ilmu kemanusiaan dan bukan ilmu ketuhanan.(Hasan Hanafi, 1991:46)
Untuk menghasilkan teologis yang bercorak antroposentrisme, maka diperlukan redefinisi teologi dengan cara merusmuskan ulang konsep-konsep (doktrinal) teologis agar sejalan dengan semangat pembebasan Islam itu sendiri. Pada prinsipnya, reformulasi ini merupakan suatu proses reflektif-kritis secara teologis yang berlandaskan hasil pemaknaan teks (al-Qur'an dan hadits) dan pemahaman konteks kekinian (realitas aktual-faktual). Dalam hal ini, setidaknya, terdapat tiga konsep teologis yang medesak di rekontruksi agar berpihak pada paradigma antroposentrisme. Ketiga konsep tersebut adalah:

1. Konsep Tauhid.
Pada dasarnya konsep ini merupakan doktrin pokok dalam keseluruhan teologi Islam klasik. Pada teologi Islam klasik terdapat dialektika antara kebebasan manusia (free will, free act) seperti di gagas teologi-teologi rasional dan ketentuan mutlak diluar manusia (predestinasi Tuhan) sebagaimana sebagaimana diidekan teologi-teologi tradisional. Untuk memahami konsep tauhid yang lebih mengarah pada antroposentisme maka kita perlu melakukan redefinisi teologi tersebut. Menurut Hanafi, gagasan tauhid tidak lagi dimengerti sebagai ajaran tentang keesaan Tuhan, melainkan dipahami sebagai “kesatuan pribadi manusia, yang jauh dari prilaku dualistik seperti hipokrisi [munafik] dan perilaku oportunistik. Pikiran, perasaan, dan perkataan adalah identik dengan tindakan. Tauhid berarti pula kesatuan sosial, yaitu masyarakat tanpa kelas; tanpa kelas kaya dan miskin. Tauhid juga memiliki makna kesatuan kemanusiaan tanpa diskriminasi rasial apapun, tanpa perbedaan ekonomi, tanpa perbedaan antara masyarakat berkembang dan maju. (Hasan Hanafi, 1991:31)
Oleh sebab itu tauhid harus dipahami dan diyakini sebagai penggambaran adanya unity of godhead (kesatuan ketuhanan). Keyakinan atas kesatuan ketuhanan menghasilkan konsep selanjutnya yaitu unity of creation (kesatuan penciptaan). Dalam konteks sosial-hirisontal, kesatuan penciptaan itu memberi suatu keyakinan asanya unity of mankink (kesatuan kemanusiaan). Kesadaran teologis akan kesatuan kemanusiaan menegaskan bahwa tauhid menolak segenap penindasan atas kemanusiaan. Dalam konteks Islam, kesatuan kemanusiaan itu menghendaki adanya kesatuan pedoman hidup (al-Qur'an dan hadits) bagi orang-orang Mukmin. Dengan demikian tauhid secara konseptual memberi arahan kepada adanya kesatuan tujuan hidup, bergerak menuju muara tunggal, Allah swt. (M. Amin Rais, 1998:109-10)
Pemahaman tauhid sedemikian tidak hanya diarahkan secara vertikal untuk membebaskan manusia dari ketersesatan dalam bertuhan, tetapi juga secara sosial-horisontal dikehendaki berperan sebagai teologi yang membebaskan manusia agar terlepas dari seluruh anasir penindasan. Cita pembebasam manusia dari ketertindasan, karena itu, merupakan saah satu 'aqidah iahiyah. Elaborasi lebih jauh dari pemahaman tauhid semacam ini menuntut pula redefinisi terhadap entitas makna iman, nilai kufr dan sebutan kafir, dan pada akhirnya reposisi entitas makna Islam dan Musim searah dengan kepentingan praksis pembebasan.

2. Konsep Keadilan Sosial.
Konsep keadilan merupakan doktrin yang diperbincangkan oleh teologi Islam kasik. Dalam diskursus teologi Islam klasik tema tersebut cenderung terfokus semata pada perbincangan soal-soal keadilan Tuhan (al-'adl). Konsep keadilan Tuhan yang diwacanakan oleh teologi Islam klasik terlalu membela Tuhan, padahal menurut Hanafi teologi dapat berperan sebagai suatu ideologi pembebasan bagi yang tertindas atau sebagai suatu pembenaran penjajahan oleh para penindas. Teologi memberikan fungsi legitimatif bagi setiap perjuangan kepentingan dari masing-masing lapisan masyarakat yang berbeda. (Hasan Hanafi, 1991:46)
Berangkat dari situlah, maka konsep keadilan Tuhan (a-'adl) perlu direkontruksi dan redefinisi pada konsep keadilan sosial. Pengedepanan konsep ini bertolak dari kesadaran bahwa ketidakadian sosial (kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, ekploitasi, diskriminasi, dan dehumanisasi) merupakan produk dari suatu proses sosial lewat struktur dan sistem yang tidak adil, yang terjadi antaran proses sejarah manusia. Artinya realitas sosial yang tidak adil bukanlah takdir Tuhan (predestination) seperti umumnya diyakini teologi-teologi tradisional, melainkan hasil dari proses sejarah yang disengaja. Bukan pula hanya akibat "ada yang salah dalam bangunan mentalitas-budaya manusia", seperti keyakinan teologi-teologi rasional, melainkan imbas langsung dari diselenggarakannya sistem dan struktur yang tidak adil, eksploitatuf, dan menindas.

3. Konsep Spirituaitas Pembebasan.
Konsep ini merupakan konkretisasi dari proses refleksi kritis atas realitas manusia (umat) di satu sisi dan atas tujuan utama Islam sebagai agama pembebasan di sisi lain. Pembebasan (liberation,tahrir) dalam kerangka spiritualitas tidak hanya diarahkan pada struktur-sistem yang menindas, tetapi juga secara terus menerus pada upaya membebaskan manusia dari hegemoni wacana tertentu berupa produk pemikiran keagamaan tertentu, misalnya spriritualitas ini harus senantiasa mengambil tempat dan peran aktif dalam proses kontektuaisasi teks-teks keagamaan atas konteks kekinian.
Pengenaan spiritualitas pembebasan itu secara khusus bertujuan agar aspek relligius dari gagasan teologi dimaksud tidak hilang sekaligus eternalitas nilai-nilai trandensinya tak terabaikan. Oleh sebab itu, selain menumpukan diri pada gagasan al-amr bi al-ma'ruf wa al-nahy 'an al-munkar, ia juga menekankan pada pemaknaan kontekstual dengan realitas kekinian (segenap bentuk social malaise). Akhirnya, di wilayah praktis, aktualisasi atau manifestasi teologi reformatif ini membutuhkan keterlibatan aktif dari kaum tertindas sendiri. Tanpa itu, bisa dipastikan ia akan gagal menjadi motivasi religius yang betul-betul transformatif dan berdaya membebaskan. Pelibatan aktif mereka itu terlepas model menejemen gerakan apapun yang pada akhirnya diambil.
Dengan berteologi secara demikian kita bisa memulai berharap munculnya realitas sosial kemanusiaan yang lebih mengembirakan. Dalam pada itu Isam sebagai entitas nilai maupun agama akan benar-benar hadir sebagaimana spirit aslinya sebagai agama yang membebaskan. Hal itu memungkinkannya hadir sebagai entitas yang berdaya melakukan pembebasan dan tidak justru memperkokoh diri sebagai indtitusi penindas, langsung maupuin tidak. Melalui rekonstruksi teologis sedemikian, Islam sebagai entitas ajaran niscaya mengambi jalan "mengubah dunia untuk mengubah manusia" dan bukan "mengubah manusia untuk mengubah dunia".

F. Kesimpulan
Menghadirkan rekontruksi teologi Islam klasik yang mengarah pada trend teosentrisme ke arah antroposentrisme adalah bersifat mendesak. Rekomendasi ini niscaya demi menyadari kondisi faktual umat Islam saat ini yang terpuruk di berbagai bidang kehidupan dan mandulnya beragan paradigma teologi Islam yang dianut mereka untuk memotivasi berlangsungnya proses transformasi sosial. Dua kenyataan inilah yang secara langsung menjadi basis historis mengapa rekontruksi teologi Islam itu perlu. Dalam pada itu kita bisa menarik kesimpulan betapa Islam dalam proses sejarah telah semakin jauh dari rasionalitas Tuhan ketika ia diturunkan.
Terkait itulah rekontruksi terhadap teologi warisan Islam klasik ini menjadi hal yang sangat strategis guna memulai transformasi sosial umat secara total. Redefinisi teologi Islam klasik menuju teologi Islam yang transformatif akan memberikan signifikansi bagi kesadaran teologis umat yang kritis dalam melihat teks (Qur'an/hadits, ide-ide kemanusiaan) dan konteks kekinian. Pada saat berbarengan ia berpotensi pula menjadi motivasi reigius bagi umat untuk melakukan transformatif atas realitas ketertindasan yang mengkungkung mereka baik berupa ideologi Barat seperti developmentalisme atau kapitalisme, ataupun berwujud nilai-nilai yang mereka konseptualisasi sendiri, termasuk "nilai-nilai agama"
Dalam kerangka pembebasan, upaya pelahiran kesadaran teologis antropomorpisme itu penting, setidaknya disebabkan dua urgensi, yakni pertama, dilevel wacana pemikiran keagamaan ia akan mengurai stagnasi wacana intelektual Islam sejak pasca-Abad pertengahan, khususnya, di ranah teoogi. Disitu jargon-jargon semisal "membuka pintu Ijtihad" disatu sisi dan berlawanan dengan "pintu ijtihad telah tertutup" pada sisi yang lain akan menemukan momentum dan intensitas persinggungannya. Kedua, di level praksis ia akan memposisikan diri sebagai motivasi religius yang membebaskan bagi umat dalam melakukan perlawanan terhadap struktur dan sistem penindasan yang melahirkan ketidakadilan, kemiskinan, keterbelakangan, diskriminasi, dehumanisasi, dan sejenisnya. Pada saat yang sama ia akan mendorong pada pemahaman bahwa realitas tidak manusiawi itu berlangsung bukan lagi bersifat individual atau apalagi merupakan sesuatu yang sudah dipastikan, seperti pemahaman teologi tradisional, melainkan sudah bersifat sosial----tercipta oleh struktur-sistem yang memang menghendaki demikian.
Paling tidak melalui dua level itulah eksistensi umat Islam ke depan akan menemukan bentuknya, dan masa depan peradaban umat akan kembali menjadi menemukan memontumnya dan akan dikagumi baik bagi umat Islam sendiri maupun dunia Barat.

DAFTAR PUSTAKA
'Abdurraziq, Musthafa, Tamhîd li al-Târikh al-Falsafah al-Islâmiyah. Kairo: al-Haiah al-Mishriyah al-'Amah li al-Kitab, 2007.

Al-Shubhy, Ahmad Mahmud, Fi 'Ilm a-Kalam: Dirasah Falsafiyah Li Ara'i al-Firaq a-Islamiyah fi Ushul al-Din. 1969

Asy’ary, al-Abu Hasan, al-Ibanah ‘an Ushul al-Diniyyah. Mesir: tp, 1977

Abdullah, Amin, Falsafah Kalam. Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1995

Amin, Ahmad, Fajr al-Islam. Kairo: Maktabah an-Nahdah, 1974

Gibb, H.A. R., Aliran-aliran Modern dalam Islam, terj. Machnun Husein, Jakarta: Rajawali Press, 1995

Hanafi, Hassan, Agama, Ideologi, dan Pembangunan, terj. Shonhaji Sholeh. Jakarta: P3M, 1991

Haleem, M. Abdel, Eaely Kalam, dalam Seyyed Hossein Nasr dkk (ed). "History of Islamic Philosophy".

Jabbar, al-Ahmad. 1965. Syarh al-Ushul al-Khamsah, Kairo: Maktabah Wahbah.

Jabiry, al. 1990. Bunyah al-‘Aql al-‘Araby, Beirut: Markas Dirasah al-Waddah al-‘Arabiyyah.

Khaldun, Ibn, Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha. Jakarta:Pustaka Firdaus,

L Resse, Wiliam, Dictionary of Philosophy and Religion. USA:Humanites Press Ltd, 1980

Madjid, Nurcholis, "Masalah Ta'wil sebagai Metodologi Penafsiran Al-Qur'an", dalam Kontektualisasi Doktrin Islam dalam Serjarah, Budi (Ed), Jakarta: Paramadina, 1994

Nasution, Harun, Teologi Islam , Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1972

Qadir, C.A., Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Isam. Yayasan Obor: Jakarta, 1991

Rais, Amin, Tauhid Sosial: Formula Menggempur Kesenjangan. Bandung: Mizan, 1998

Romas, Chumaidi Syarif, Wacana Teologi Islam Kontemporer. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2000

Syahrastani, Al-Mihal wa An-Nihal. Beirut: Al-Dar Al-Fikr, 1990

Watt, Montgomery. W, Islamic Philosophy and Theology: An Extended Survey. Harrassowitz: Edinburgh University, 1992
 

Blogger news

Test Footer


web counter

About