A. Pendahuluan
Penelitian ini bertitik tolak dari fenomena sebagian masyarakat khususnya kalangan selebriti Indonesia yang saat ini cenderung melakukan perkawinan dengan ‘pria bule’ atau yang lainnya dimana sebahagiannya ada yang masuk Islam sebelum melangsungkan perkawinan dan ada juga yang tetap mempertahankan status beda agama tersebut.Praktek seperti di atas mendapat penentangan dari umat Islam Indonesia. Penolakan tersebut dapat dibuktikan paling tidak dari tiga fakta sebagaimana berikut : Pertama, Hasil wawancara dengan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tamiang Hulu Kabupaten Aceh Tamiang pada tanggal 10 Januari 2011 yang pada intinya menyatakan bahwa calon mempelai yang berbeda agama tidak dapat dilangsungkan pencatatan perkawinannya.Kedua, Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang menetapkan bahwa perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah, selanjutnya perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahlu Kitab menurut qaul mu’tamad adalah haram dan tidak sah.[1]Fatwa tersebut tidak lagi membedakan beda agama karena sebab musyrik atau dalam kategori ahl al-Kitab. Ketiga, pandangan umat Islam secara umum di Indonesia bahwa kawin beda agama tersebut tidak dapat dibenarkan.
Apabila dicermati kajian ini dalam kaca mata para ulama maka banyak pro dan kontra terhadapnya, Imam Syafi’i misalnya, sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab mengatakan bahwa istilah ahl al-kitab ditujukan hanya kepada Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang Israel, tidak termasuk bangsa-bangsa lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani. Alasan beliau antara lain adalah Nabi Musa dan Isa hanya diutus kepada mereka, bukan kepada yang lain.[2]Mengacu kepada pendapat Syafi’i ini Abdul Muta’al al-Jabariy mendefinisikan ahl al-kitab dengan identitas suatu generasi atau kaum yang telah musnah dan telah tiada ciri dan tandanya.[3]
Jumhur ulama, merujuk kepada pendapat mereka tentang pengertian ahl al-kitab, tentu saja membolehkan pernikahan antar agama jenis ini, namun kebolehannya tidaklah mutlak.Golongan Hanafiyah memandang sekalipun boleh, pernikahan tersebut adalah makruh. Bila perempuan kitabiyyah ini zimmiyah, maka kemakruhannya makruh tanzih dan bila perempuan tersebut berdomisili di wilayah yang tidak memberlakukan hukum kedua mengatakan tidak boleh karena ahl al-Kitab dipandangan sudah tidak ada lagi.
Perbincangan selama ini terkait dengan perkawinan beda agama tersebut adalah bermuara pada dua term yangmuncul dari nash al-Qur’an, yakni term perkawinan dengan wanita ahl Kitab dan perkawinan dengan wanita Musyrikah sebagaimana firman Allah Swt berikut:
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.(QS. Al-Baqarah : 221)
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالإيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik.makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.(QS. Al-Maidah : 5 )
Disisi lain di Indonesia ditemukan ketentuan yang berkaitan dengan perkawinan beda agama tersebut, yakni terdapat dalam ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pembahasan dalam KHI terhadap Persoalan ini dapat ditemukan pada tiga bagain, yakni dalam ketentuan larangan perkawinan, pencegahan perkawinan, dan alasan perceraian.
Dalam KHI diatur bahwa bagi calon suami dan istri tidak terdapat halangan perkawinan, dan diantara halangan perkawinan tersebut dituangkan dalam pasal 40 dimana seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan wanita yang tidak beragama Islam. Dan pada pasal 44 disebutkan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.[4] Selanjutnya pada bagian pencegahan perkawinan diatur bahwa pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hokum Islam dab peraturan perundang-undangan. (KHI pasal 60 ayat 2) dan tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau Ikhtilaf al-din. (KHI Pasal 61)[5]
Dalam ketentuan yang lain KHI memberi peluang terhadap kelangsungan perkawinan bagi pasangan yang murtad atau keluar dari Islam. Hal ini diatur dalam ketentuan pasal 116 poin h tentang alasan perceraian yang pada intinya dapat difahami bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.[6]
Dari ketentuan di atas terlihat bahwa disatu sisi KHI Melarang terjadinya perkawinan beda agama, akan tetapi disisi lain perkawinan beda agama terus dapat dipertahankan sejauh perbedaan agama tersebut tidak mengganggu ketentraman rumah tangga.
Dari latarbelakang di atas menimbulkan kegelisahan akademik, yaitu: bagaimana Ketentuan Perkawinan Beda agama menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) ?. kegelisahan tersebut di turunkan menjadi dua rumusan masalah yaitu: Pertama, bagaimana Perkawinan beda agama menurut Kompilasi Hukum Islam ?. Kedua, bagaimana Ketentuan Perkawinan Beda agama menurut al-Qur’an dalam Pandangan Ulama Tafsir dan Fikih ?.
B. Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Islam
1. Perkawinan Berbeda Agama Menurut Ulama.
Istilah perbedaan agama atau ikhtilaf al-din dijumpai pada pasal 61 KHI.[7]Di samping itu didapati pula yang memiliki padanan kata dengan kata lain yaitu dengan kata orang yang tidak beragama Islam (non muslim). Ini terdapat dalam pasal 40, 44, dan 116.[8] Dengan demikian terlihat bahwa pengertian perkawinan beda agama di sini adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang muslim baik pria maupun wanitanya dengan penganut agama lain (non muslim) secara keseluruhan, tanpa terkecuali pria dan wanitanya berasal dari agama yang mana. Misalnya perkawinan yang dilakukan oleh seorang muslim dengan penganut agama Kristen Protestan, atau seorang muslim dengan seorang penganut agama Budha, dan yang lainnya. Sedangkan perkawinan antara non muslim dengan non muslim lainnya tidak ada disinggung oleh Kompilasi Hukum Islam. Hal ini terjadi, karena Kompilasi Hukum Islam hanyalah mengatur tentang ketentuan yang berlaku bagi orang Islam saja.
Hukum perkawinan berbeda agama dalam pandangan ulama akan dilihat dalam beberapa literatur terutama dalam penafsiran ulama terkait dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang membincangkan tentang persoalan ini.
Pandangan Imam Al-Quthubi tentang nikah berbeda agama dapat dilihat dalam kitab tafsirnya al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, juz 2 halaman 235-236. Ayat yang dijadikan penjelasan adalah Q.S. Al-Baqara ayat 221dan surat al-Maidah ayat 5. Surah Al-Baqarah ayat 221 mengharamkan mengawini wanita-wanita musyrikah kemudian surah al-Maidah ayat 5 menasakh sebagian hukum yang ada di dalam surah Al-Baqarah ayat 221 tersebut.Wanita-wanita ahl-al-Kitab dihalalkan oleh surah al-Maidah ayat 5. Diriwayatkan bahwa ini adalah pendapat Ibn ‘Abbas, Demikian juga dikatakan oleh Malik bin Anas dan Sufyan bin Sa’id al-Tsuri dan ‘Abdurrahman bin Umru al-Auza’i.
Menurut Qatadah dan Sa’id bin Jubair bahwa lafaz ayat 221 surah al-Baqarah tersebut umum, masuk di dalamnya setiap wanita kafir, tetapi yang dimaksud adalah khusus. Jadi di dalam ayat itu tidak termasuk al-kitabiyat. Kekhususan tersebut dapat diketahui dari adanya ayat 5 surah al-Maidah. Pendapat seperti ini dikatakan juga sebagai salah satu pendapat Imam Syafi’i’
Menurut sebagian ulama bahwa kedua ayat tersebut (al-Baqarah: 221 dan al-Maidah: 5) tidak bertentangan antara satu dengan lainnya, karena lafaz al-Syirk tidak meliputi ahl al-kitab.
b. Penjelasan Hamka Dalam Tafsir Al-Azhar
Menurut Hamka, yang dimaksud dengan ahl al-kitâb adalah Yahudi dan Nasrani. Dia tidak memberikan kriteria tertentu sehingga dengannya Yahudi dan Nasrani tersebut dapat disebut sebagai ahl al-kitâb. Bahkan, orang nasrani yang mempersekutukan al-Masih dengan Tuhan pun, dia kategorikan sebagai ahl al-kitâb. Hamka berkata:
“Ada yang berkata bahwa Ahlul Kitab sama juga dengan musyrik, sebab mereka memperserikatkan Allah dengan Isa Almasih, mengatakan Almasih anak Allah. Padahal soal ini telah diperbincangkan sebelum ini dalam surah al-Nisa dan akan dibicarakan lagi beberapa ayat sesudah ini di dalam surat ini sendiri. Soal orang Nasrani mempersekutukan Almasih dengan Tuhan Allah adalah masalah yang berdiri sendiri. Sekarang datang ayat ini menjelaskan soal makanan. Teranglah bahwa ayat ini menegaskan, meskipun mereka Nasrani atau Yahudi mempunyai kepercayaan lain terhadap Isa Almasih, namun makanan mereka halal kamu makan”.[10]
Hamka mengemukakan pandangan para ulama dalam kitab-kitab fiqh yang menerangkan bahwa seorang suami muslim, jika diminta oleh isterinya yang Nasrani tersebut untuk menemaninya ke gereja, patutlah sang suami itu mengantarkannya, dan dirumah, sang suami jangan menghalangi isterinya itu untuk mengerjakan agamanya.[11] Kebolehan mengawini perempuan ahl al-kitâb ini menurut Hamka adalah bagi laki-laki muslim yang kuat keislamannya (agamanya). Hamka berkata:
“Kalau ada ‘pertemuan nasib’, mendapat jodoh perempuan Yahudi atau Nasrani dengan laki-laki Islam yang kuat keislamannya, tidaklah dilarang”.[12] Bagi laki-laki muslim yang kuat agamanya, sehingga dia dapat membimbing isterinya dan keluarga isterinya tersebut ke jalan yang benar atau masuk Islam, maka perkawinan seperti itu tidak saja boleh tetapi bahkan merupakan “perkawinan yang terpuji dalam Islam”.[13]
b. Penjelasan M.Qurasih Shihab.
M.Qurasih Shihab. Beliau mengatakan larangan mengawinkan perempuan muslimah dengan pria non muslim – termasuk pria ahl al-kitab-, diisyaratkan oleh Al-Qur’an. Isyarat ini dipahami dari redaksi surah Al-Baqarah: 221, yang hanya berbicara tentang bolehnya perkawinan pria muslim dengan wanita ahl al-kitab, dan sedikitpun tidak menyinggung sebaliknya. Sehingga seandainya pernikahan semacam itu dibolehkan, pasti ayat itu akan menegaskan.
Larangan perkawinan antar pemeluk agama yang bebeda itu agaknya dilatarbelakangi oleh harapan akan lahirnya sakinah dalam keluarga. Perkawinan baru akan langgeng dan tenteram jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antara suami dan istri, karena jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya, atau bahkan perbedaan tingkat pendidikan suami dan istri pun tidak jarang mengakibatkan kegagalan perkawinan. Memang ayat itu membolehkan perkawinan antara pria muslim dan perempuan ahl al-kitab (utu al-kitab), tetapi kebolehan itu bukan saja sebagai jalan keluar dari kebutuhan mendesak saat itu, tetapi juga karena seorang muslim mengakui bahwa Isa a.s. adalah Nabi Allah pembawa ajaran agama. Sehingga, pria yang biasanya lebih kuat dari wanita, jika beragama Islam, dapat menoleranasi dan mempersilahkan ahl al-kitab menganut dan melaksanakan syari’at agamanya. Lakum dinukum wa liya din (bagi kamu agamamu dan bagiku agamaku) (Q.S. Al-Kafirun:6).
Shihab menjelaskan bahwa ahl al-kitab yang boleh dikawini adalah yang diungkap dalam redaksi ayat di atas: wa al-muhshanat minal ladzina utul kitab. Kata al-mushshanat di sini berarti wanita-wanita yang terhormat yang selalu menjaga kesuciannya, dan yang sangat menghormati dan mengagungkan Kitab suci. Makna terakhir ini dipahami dan penggunaan kata utuw yang selalu digunakan AL-Qur’an untuk menjelaskan pemberian yang agung lagi terhormat. Itu sebabnya ayat tersebut tidak menggunakan istila ahl al-kitab, sebagaimana dalam ayat-ayat lain, ketika berbicara tentang penganut ajaran Yahudi dan Kristen.[14]
Dalam menjelaskan ini, Shihab juga mengutip pandangan Mahmud Syaltut dalam kumpulan fatwanya. Pendapat para ulama yang membolehkan itu berdasarkan kaedah syari’ah yang normal, yaitu bahwa suami memiliki tanggung jawab kepemimpinan terhadap istri, serta memiliki wewenang dan fungsi pengarahan terhadap keluarga dan anak-anak. Adalah kewajiban seorang suami muslim –berdasarkan kepemimpinan yang disandangnya- untuk mendidik anak-anak dan keluarganya dengan akhlak Islam. Laki-laki diperbolehkan mengawini non muslimah yang ahl al-kitab, agar perkawinan itu membawa misi kasih sayang dan harmonisme, sehingga terkikis dari istrinya rasa tidak senangnya terhadap Islam. Dengan perlakuan suaminya yang baik yang berbeda agama dengannya itu, sang istri dapat lebih mengenal keindahan dan keutamaan agama Islam secara amaliah praktis, sehingga ia mendapatkan dari dampak perlakuan baik itu ketenangan, kebebasan beragama, serta hak-haknya yang sempurna, lagi tidak sebaik istri.
Selanjutnya Mahmaud Syaltut menegaskan bahwa kalau apa yang dituliskan di atas tidak terpenuhi, sebagaimana sering terjadi pada masa kini, maka ulama sepakat untuk tidak membenarkan perkawinan itu, termasuk oleh mereka yang tadinya membolehkan.[15]Kalau seorang wanita Muslim dilarang kawin dengan Non muslim karena kekhawatiran akan terpengaruh atau berada di bawah kekuasaan yang berlainan agama dengannya, maka demikian pula sebaliknya. Perkawinan seorang pria Muslim, dengan wanita Ahl al-Kitab harus pula tidak dibenarkan jika dikahwatirkan ia atau anak-anaknya akan terpengaruh oleh nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.[16]
2. Perkawinan Berbeda Agama Menurut Kompilasi Hukum Islam
Sebelum Kompilasi Hukum Islam hadir, ketentuan tentang perkawinan, telah diatur secara legal formal dalam UU No: 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan. Setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, maka pengaturan perkawinan beda agama menjadi cenderung terhalangi. Hal ini berdasarkan alasan yakni pertama, dengan mengingat kembali pada sejarah undang-undang perkawinan 1973, terutama perdebatan yang berkaitan dengan pasal 11 ayat (2) bahwa “perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa, negara asal, tempat asal, agama, kepercayaan dan keturunan tidak merupakan penghalang perkawinan” dan kemudian mendapat perubahan, maka perkawinan beda agama tidak dimungkinkan (dilarang) di Indonesia.M. Rasjidi dengan nada mengecam menyatakan bahwa kata “agama” dalam pasal ini sengaja diselipkan sedemikian rupa, sehingga orang yang tidak teliti dalam membacanya akan mengatakan bahwa pasal ini tidak bertentangan dengan hukum Islam. Selain itu, Rasjidi juga menganggap bahwa RUU ini merupakan kristenisasi terselubung karena menganggap hal yang dilarang Islam seolah menjadi hal yang sudah biasa diterima oleh orang termasuk perkawinan antar agama.Menyamakan perbedaan agama dengan perbedaan suku dan daerah asal sehingga dianggap tidak menghalangi sahnya suatu perkawinan adalah merupakan hal yang bertentangan dengan ajaran Islam sehingga RUU ini hanya menguntungkan satu pihak saja yaitu misionaris.[17]
Kedua, ada beberapa pasal yang dapat dijadikan dasar dilarangnya perkawinan beda agama dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yaitu pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 haruf (f). Dalam pasal 2 ayat (1) dinyatakan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.Kemudian dalam penjelasannya dinyatakan “Dengan perumusan pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini”. Bila pasal ini diperhatikan secara cermat, maka dapat dipahami bahwa undang-undang menyerahkan kepada masing-masing agama untuk menentukan cara-cara dan syarat-syarat pelaksanaan perkawinan tersebut, disamping cara-cara dan syarat-syarat yang telah ditepkan oleh negara. Jadi apakah suatu perkawinan dilarang atau tidak, atau apakah para calon mempelai telah memenuhi syarat-syarat atau belum, maka disamping tergantung kepada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, hal tersebut juga ditentukan oleh hukum agamanya masing-masing. Dalam perspektif agama-agama di Indonesia, maka perkawinan beda agama tidak dibenarkan karena tidak sesuai dengan hukum agama-agama yang diakui di Indonesia. Argumentasi ini diperkuat oleh pasal 8 huruf (f) bahwa “perkawinan dilarang antara dua orang yang ; mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin”.[18]
Ketiga, merujuk kepada pasal 66 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa “Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijks Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Chisten Indonesiers S. 1933 No 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemegnde Huwelijken S. 1989 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”.
Dari ketentuan pasal 66 itu, jelas bahwa ketentuan-ketentuan GHR (STB. 1898/158) sebagaimana yang diungkapkan diawal juga tidak dapat diberlakukan lagi karena di samping ketentuannya telah mendapat pengaturan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, GHR juga mengandung asas yang bertentangan dengan asas keseimbangan hukum antara suami istri sebagaimana yang dianut oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Selain itu, rumusan mengenai perkawinan campuran dalam GHR berbeda dengan rumusan dalam pasal 57 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi “Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.
Rumusan di atas membatasi diri hanya pada perkawinan antara warga negara Indonesia dengan warga negara asing.Adapun perkawinan antara sesama warga negara Indonesia yang tunduk kepada hukum yang berlainan, termasuk perkawinan antar agama, tidak termasuk dalam lingkup batasan perkawinan campuran menurut undang-undang ini.
Adapun perkawinan beda agama dalam Kompilasi Hukum Islam secara ekspilisit dapat dilihat dari ketentuan empat pasal.
1. Pada pasal 40 KHI, dinyatakan: Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:
1. Karena wanita yang bersangutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain.
2. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain.
3. Seorang wanita yang tidak beragama Islam.[19]
2. Pasal 44 KHI;
”Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.”[20]
3. Pasal 61 KHI;
”Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaf al-din.[21]
4. Pasal 116 KHI;
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
1. Salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebaginya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara (lima) tahun, atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankannya sebagai suami atau istri.
5. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
6. Suami melanggar taklik talak.
Jika dilihat ketentuan peraturan yang ada dalam batang tubuh Kompilasi Hukum Islam itu sendiri, pasal-pasal yang ada tidak berada dalam satu Bab tertentu. Pasal 40 KHI dan juga Pasal 44 dimasukkan dalam bab larangan kawin, sedangkan pasal 61 dimasukkan pada bab pencegahan perkawinan, sementara itu, pasal 116 KHI berada pada bab putusnya perkawinan.
C. Analisa Terhadap Perkawinan Beda Agama
1. Analisa Terhadap Pandangan Fikih.
Penulis dapat memahami seseorang yang memfatwakan tidak sah perkawinan pria Muslim dengan Ahl Al-Kitab, tetapi bukandengan alasan yang dikemukakan Ibnu Umar. Alasan yang dapat dikemukakan antara lain kemaslahatan agama dan keharmonisan hubungan rumah tangga yang tidak mudah dapat terjalin apabila pasangan suami istri tidak sepaham dalam ide, pandangan hidup atau agamanya. Mahmud Syaltut –sebagaimana yang dijelaskan pada bab sebelumnya-, menulis dalam kumpulan fatwanya bahwa tujuan utama dibolehkannya perkawinan seorang Muslim dengan wanita Ahl Al-Kitab, adalah agar dengan perkawinan tersebut terjadi semacam penghubung cinta dan kasih sayang. Sehingga terkikis dari benak istrinya rasa tidak simpati terhadap Islam dengan sikap baik sang suami Muslim yang berbeda agama itu sehingga tercermin secara amaliah keindahan dan keutamaan agama Islam. Adapun jika sang suami Muslim terbawa oleh sang istri, atau anaknya terbawa kepadanya sehingga mengalihkan mereka dari akidah Islam, maka ini bertentangan dengan tujuan dibolehkannya perkawinan, dan ketika itu perkawinan tersebut disepakati – untuk dibubarkan.
Adalah penting untuk diperhatikan apa yang diungkapkan oleh Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, bahwa yang dimaksud dengan ahli kitab adalah ahli tauhid (orang yang mengesakan Allah Swt.) dari orang-orang sebelum Islam kemudian mereka ditimpa oleh fitnah kemusyrikan dari orang musyrik yang memeluk agama mereka, kemudian mereka terputus dengan masa lalu mereka.[23]
Disamping itu di Indonesia sendiri didapati bahwa telah keluar Fatwa dari MUI.Keputusan Majelis Ulama Indonesia tahun 1980 yang ditanda tangani oleh Prof. Dr. Hamka memfatwakan: (1) “Perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki non muslim adalah haram hukumnya”. (2) “Seorang laki-laki muslim diharamkan mengawini wanita bukan muslim. Tentang perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahl Kitâb terdapat perbedaan pendapat. Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadahnya (kerusakannya) lebih besar daripada maslahatnya, Majelis Ulama Indonesia memfatwakan perkawainan tersebut hukumnya haram”.[24] Keharaman itu juga didasari dengan alasan bahwa para non Muslim tersebut bukan lagi dikategorikan sebagai ahli kitab, mereka telah berbeda dengan ahli kitab yang asli yang dimaksudkan oleh Q.S. Al-Ma’idah:5.[25]
Fatwa tersebut dikeluarkan pada tanggal 1 Juni 1980, sebagai tanggapan atas bertambahnya perhatian masyarakat makin seringnya terjadi pernikahan antar agama. Menurut kenyataannya, pembicaraan mengenai fatwa ini diadakan pada konferensi tahunan kedua MUI pada tahun 1980 dan bukannya dalam rapat-rapat biasa komisi fatwa. Fatwa tersebut ditandatangani oleh HAMKA, Ketua Umum, Kafrawi, dan Sekretaris MUI. Yang juga menarik bahwa fatwa itu dibubuhi tanda tangan Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwira Negara.[26]
Sejalan dengan uraian tersebut, Hazairin mengatakan bahwa kebolehan mengawini wanita kitabiyah tersebut seperti yang dikemukakan Allah Swt. dalam Q.S. Al-Ma’idah:5 adalah berupa dispensasi, karena suatu keadaan di mana ada kesulitan bagi pria muslim untuk mendapatkan wanita muslimah di sekitar mereka, karena memang jumlah wanita muslimah saat itu sangat sedikit. Sehubungan dengan kondisi Indonesia yang ada sampai saat ini ternyata tidak demikian halnya, karenanya dispensasi tersebut tidak boleh digunakan, artinya tidak boleh menikahi non muslim dengan alasan sulit untuk menemukan wanita msulimah, sedang mereka itu adalah tergolong wanita kitabiyah. Kemungkinan kebolehan menikahi wanita kitabiyah ini hanya dapat dilakukan di negeri-negeri yang penduduknya minoritas muslim, sedangkan wanita kitabiyah banyak dijumpai di sana. Dengan demikian tidak diperkenankan bagi seorang muslim di Indonesia ini untuk menikahi wanita non muslim dengan alasan bahwa mereka itu aalah tergolong wanita kitabiyah. [27]
Bila dilihat ragam pandangan ulama, baik yang menerima keberadaan komunitas non muslim yang dalam hal ini adalah ahli kitab (seperti Yahudi dan Nasrani), dalam kaca mata metodologis, sesungguhnya kesemuanya telah melakukan upaya pemahaman dan penalaran agama yang sering kita kenal dengan ijtiihad.
Hukum Islam dalam pengertian produk pemikiran Islam di bidang hukum, merupakan hasil interaksi antara dimensi nash[28] dengan dimensi penalaran manusia. Dimensi nash dimaksud adalah Al-Quran dan Hadis, sedangkan penalaran yang dimaksud adalah pola istinbat yaitu qiyas istihsan mashalih al- mursalah, istishhab, ‘urf, sadd dzari’ah dan lainnya.Hal ini dimaksudkan bahwa dalam hukum Islam merupakan hukum yang bersumber dari wahyu pada satu sisi, dan di sisi lain hukum Islam juga melibatkan dimensi kemanusiaan dalam memberikan bentuk dan rupa dari produk hukumnya.
Dalam pola penalaran dimaksud dalam studi ini, akan mencakup apa yang dimaksud dalam usul fikih sebagai al-qawa’id al-lughawiyah dan qawa’id al tasyri’iyyah serta dalil-dalil[29] selain Al-Qur’an dan Hadis. Selanjutnya pola penalaran ini dibedakan ke dalam tiga kelompok, yaitu: (1) pola penalaran/ijtihad bayani, (2) pola penalaran/ijtihad ta’lili, (3) pola penalaran/ijtihad istishlahi.[30]
Adapun yang dimaksud dengan pola penalaran atau ijtihad bayani adalah penalaran yang pada dasarnya bertumpu kepada kaidah-kaidah kebahasan (semantik). Dalam usul fikih, kaidah-kaidah ini telah dikembangkan sedemikian rupa,di bawah judul al-qawa’id al-lughawiyah atau al-qawa’id al-istinbathiyyah, yang mungkin dapat diterjemahkan secara bebas dengan istilah “semantik untuk penalaran fikih”. Di dalamnya dibahas antara lain, makna kata (jelas tidak jelasnya, luas sempitnya), arti-arti perintah (al-amr) dan arti-arti larangan (an-nahy), arti kata secara etimologis, leksikal, konototif, denotatif dan seterusnya, cakupan makna kata yaitu: universal (‘am), partikular (khash), dan ambiguitas (musytarak), serta teknik-teknik mengartikan susunan kalimat atau rangkaian kalimat.[31]
Sementara itu, yang dimaksud dengan penalaran ta’lili adalah penalaran yang berusaha melihat apa yang melatar belakangi suatu ketentuan dalam Al-Qur’an ataupun Hadis. Dengan kata lain, apa yang menjadi ‘illat (rasio logis), dari suatu peraturan. Para ulama melihat bahwa semua ketentuan ada ‘illatnya, karena tidak mungkin Allah memberikan peraturan tanpa maksud dan tujuan.[32]Di dalam Al-Qur’an dan Hadis sendiri ada ketentuan-ketetntuan yang disebutkan langsung ‘illat-nya. Dari ketentuan yang tidak disebutkan ‘illat-nya secara langsung, ada yang gelap namun dapat ditemukan melalui perenungan yang dalam, namun ada yang tetap gelap dan sampai sekarang belum terungkap. Kebanyakan peraturan-peraturan yang tidak diketahui íllat-nya adalah peraturan-peraturan di bidang ibadat mahdhah (murni).Para ulama telah merumuskan cara-cara menemukan ‘illat dari ayat dan Hadis serta menyusun kategori-kategorinya.
Adapun yang dimaksud dengan penalaran istishlahiy adalah penalaran yang menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an atau Hadis yang mengandung “konsep umum” sebagai dalil atau sandarannya. Misalnya ayat-ayat yang menyuruh berlaku adil, tidak boleh mencelakakan diri sendiri atau orang lain. Dalam pola penalaran istislahi termasuklah di dalamnya dalil-dalil seperti mashalih mursalah, sadd adz-dzari’ah, ‘urf dan istishab.
Penulis berpandangan bahwa para ulama yang cenderung melihat kebolehan perkawinan antara muslim dengan non muslim (baca: ahli kitab) lebih bertumpu kepada pendekatan bayani. Namun bila dilihat dari segi istishlahi, maka ketetapan pengharaman perkawinan beda agama itu lebih maslahat. Rasio logis yang dikemukana oleh MUI di atas jelas sangat mempertimbangkan kemaslahatan dari sekedar pendekatan normatif teologis.
Apalagi jika ditinjau dari segi tujuan perkawinan itu sendiri, maka sendi kemaslahatan kawin berbeda agama cenderung akan mengurangi bahkan menghilangkan esensi perkawinanan yang sakinah mawaddah wa rahmah dalam ridha Allah Swt.
Al-‘Aqqad berpendapat: Hukum perkawinan yang baik ialah yang menjamin dan memelihara hakikat perkawinan, yaitu untuk menghadapi segala keadaan yang terjadi atau yang mungkin terjadi.[33]Segala persoalan yang muncul dalam perkawinan sangatlah beragam, dari masalah yang sederhana sampai kepada persoalan kompleks.
Segala sesuatu yang disyariatkan Islam mempunyai tujuan, sekurang-kurangya mengandung hikmah tertentu, tak terkecuali perkawinan.Tujuan perkawinan Islam tidak dapat dilepaskan dari pernyataan Al-Qur’an, sumber ajarannya yang pertama. Al-Qur’an menegaskan bahwa di antara tanda-tanda kekuasaan Allah Swt. ialah bahwa ia menciptakan istri-istri bagi para lelaki dari jenis mereka sendiri, agar mereka merasa tentram (sakinah). Kemudian Allah menjadikan/menumbuhkan perasaan cinta dan kasih sayang (mawaddah dan rahmah) di antara mereka.Dalam hal demikian benar-benar terdapat tanda-tanda (pelajaran) bagi mereka yang mau berfikir.[34] Dalam bagian lain, Al-Qur’an menyatakan: para istri adalah pakaian (libas) bagi para suami, demikian pula sebaliknya, para suami adalah pakaian bagi istrinya.[35]
Kehidupan yang tentram (sakinah) yang dibalut perasaan cinta kasih dan ditopang saling pengertian di antara suami dan istri –karena “pakaian” bagi pasangannya- itulah yang sesungguhnya merupakan tujuan utama disyari’atkannya perkawinan dalam Islam. Suasana kehidupan yang dituju oleh perkawinan serupa itu akan dapat dicapai dengan mudah apabila perkawinan dibangun di atas dasar yang kokoh, antara lain, antara suami dan istri ada dalam sekufu (kafa’ah).[36]
Dalam hal kafa’ah baik Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i, maupun Hanbali memandang penting faktor agama, sebagai unsur yang harus diperhitungkan.Bahkan Imam Syafi’i dan Imam Malik lebih menekankan pentingnya unsur ketaatan dalam beragama.[37]
Pentingnya kafa’ah dalam perkawinan sangat selaras dengan tujuan perkawinan di atas.Suatu kehidupan suami-istri yang betul-betul sakinah dan bahagia. Suami istri yang sakinah dan bahagia akan mampu mengembangkan hubungan yang intim dan penuh kemesraan. Pada giliranya akan melahirkan generasi pelanjut yang baik dan salih, yang akan menjadi pemimpin orang-orang yang bertaqwa (lil muttaqina imama).[38]
Jadi, melesatarikan keturunan (Nasl) merupakan tujuan disyari’atkannya perkawinan.Al-‘Aqqad[39] menyatakan, perkawinan disamping bertujuan melestarikan keturunan yang baik, juga untuk mendidik jiwa manusia agar bertambah rasa kasih-sayangnya, bertambah kelembutan jiwa dan kecintaannya, dan akan terjadi perpaduan perasaan antara dua jenis kelamin.Sebab antara keduanya ada perbedaan cita rasa, emosi, kesanggupan mencintai, kecakapan, dan lain-lain.
Al-Jurjawi[40] menjelaskan bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan tujuan memakmurkan bumi, di mana bumi dan segala isinya diciptakan untuk kepentingan manusia.Oleh karena itu, demi kemakmuran bumi secara lestari, kehadiran manusia sangat diperlukan sepanjang bumi masih ada.Pelestarian keturunan manusia merupakan sesuatu yang mutlak, sehingga eksistensi bumi di tengah-tengah alam semesta tidak menjadi sia-sia.Seperti diinginkan oleh agama, pelestarian manusia secara wajar dibentuk melalui perkawinan.Maka, demi memakmurkan bumi, perkawinan mutlak diperlukan.Ia merupakan condisio sene quqnon (syarat mutlak) bagi kemakmuran bumi.[41]
Para ahli hukum Islam telah meletakkan tujuan hukum Islam yaitu mashlahat.Al-Syathibi dalam kitabnya al-Muwafaqat, menjelasksan bahwa sesungguhnya syari’at itu bertujuan mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.Kajian ini bertolak dari pandangan bahwa semua kewajiban diciptakan dalam rangka merealisasikan kemaslahatan hamba.Tidak satu pun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan. Hukum yang tidak mempunyai tujuan sama dengan taklif ma la yuthaq (membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan). Suatu hal yang tidak mungkin terjadi pada hukum Tuhan.[42] Kemaslahatan itu dibangun lewat terpenuhinya lima kebutuhan dasar (dharuri) yaitu: agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan atau kehormatan.[43]Penegakan hukum perkawinan dalam hukum Islam tetap berorientasi untuk pencapaian kemaslahatan.Hukum Islam tidak ditujukan untuk kepentingan terbatas dan lokalitas.Karena itu hukum Islam harus mampu menjangkau beragamnya kondisi manusia, sehingga berbagai kebutuhan dasar di atas dapat terpenuh.
Melihat alasan dan argumentasi di atas maka semakin terang, bahwa ketentuan perkawinan berbeda agama, tidak hanya mempertimbangkan penalaran bayani terhadap teks atau nash yang ada, namun lebih jauh harus mampu menjangkau tujuan hakiki dari hukum Islam itu sendiri. Adanya keharusan memelihara agama (hifz al-din) dalam kemaslahatan manusia sulit tercapai jika mendapat gangguan dengan adanya andil pihak non muslim dalam menata kehidupan keluarga, yang sudah tentu akan tidak tinggal diam bagaimana ia untuk patuh dan berusaha menjadi seorang penganut kepercayaan dari agama yang diyakininya. Kondisi ini tentunya bertentangan dengan arus besar Islam yang sejak awal mencanangkan untuk menyemai nilai-nilai ketauhidan baik dalam diri maupun keluarga, seperti yang diperingatkan pada Q.S. Al-Tahrim ayat 6, yang memerintahkan manusia agar menjaga diri dan keluarganya dari api neraka.
2. Analisa Terhadap Ketentuan Kompilasi Hukum Islam
Pada tanggal 10 Juni 1991 Kompilasi Hukum Islam telah lahir melalui saluran hukum INPRE No.1 Tahun 1991, kemudian ditindak-lanjuti denan Keputusan Menteri Agama No. 154 Tahun 1991 pada tanggal 22 Juli 1991 maka secara resmi berlakulah Kompilasi Hukum Islam bagi selurun umat Islam Indonesia.
Di antara kandungan Kompilasi Hukum Islam itu ada menyangkut perkawinan beda agama. Hal itu dapat dijumpai dalam empat tempat, yaitu pada pasal 40 dan 44 bab VI tentang larangan, Kompilasi Hukum Islam melarang umat Islam melakukan perkawinan dengan non-muslim. Kemudian pasal 61 bab X tentang Pencegahan perkawinan, maka perkawinan dapat dicegah oleh orang-orang yang telah diberi hak untuk dapat melakukan pencegahan. Terakhir pada pasal 116 bab XVI tentang putusnya perkawinan, maka perkawinan pasangan suami istri yang sama-sama beragam Islam dapat putus akibat salah satu dari mereka keluar dari Islam.
Berbicara mengenai otoritas KHI dalam pemberlakuannya, terdapat perbedaan para ahli hukum, yang dapat disimpulkan kepada dua kelompok. Kelompok pertama berpaanggapan bahwa KHI termasuk ke dalam salah satu hukum tertulis yang bersifat memaksa karenanya ia termasuk salah satu dari sumber hukum formal di Indonesia, sehingga wajib diamalkan. Dengan demikian, berhubungan KHI telah melarang perkawinan berbeda agama, maka perkawinan berbeda agama itu inkonstitusional dan ilegal. Kelompok kedua berpandangan bahwa KHI tidak termasuk ke dalam salah satu sumber hukum formal di Indonesia ini karena ia hanya daiatur dengan INPRES, sedang INPRES tidak termasuk bagian dari sumber hukum formal tersebut di Indonesia ini. Sejalan dengan ini, KHI tidak mesti dilaskanakan (dia hanya bersifat persuasif), jadi kenaditpun telah melarang perkawinan berbeda agama bagi orang Islam, itu tidak dapat dipahami sebagai kemestian tetapi hanya anjuran.Maka bagi orang melakukan perkawinan tersebut menurut kelompok ini bisa memberlakukan ketentuan Stb.1898 No.158 karena hal itu dipanang masih berlaku, dan perkawinan mereka dipandang konstitusional dan legal.
Jika dianalisis maka terlihat kelompok pertama berada pada tataran yang ideal, yang secara normatif bahwa perkawinan berbeda agama adalah sesuatu yang dilarang.Disamping haram, inkonstituional dan juga ilegal. Karenanya bagi yang melaksanakan ini, cenderung lebih merasakan jalan keselamatan di dunia dan akhirat, lewat pandangan bahwa ia selamat di dunia dengan cara menjalankan hukum yang berlaku di dunia, dan juga selamat dengan konsekwensi keakhiratan berupa ancaman dosa.
Namun pada sisi lain harus dimaklumi pula bahwa payung INPRES yang mewadahi keberlakuan KHI tidaklah cukup kuat, mengingat bahwa institusi hukum ini tidak menjadi sumber hukum formal di Indonesia. Karenanya kalaulah memang pemerintah apakah eksekutif maupun legislatif ingin mengatur tenang ketentuan akan larangan perkawinan berbeda agama, mengapa tidak langsung saja menggunakan piranti hukum berupa sumber hukum formil yang ada seperti undang-undang dan lain sebagainya. Oleh sebab itu hubungan hukum kepada KHI ini akhirnya merupakan seruan moral semata, dan tidak mengandung konsekwenasi yuridis yang kuat.
Kelompok kedua juga terlihat cukup argumentatif, karena logika mereka bisa mereka jalankan secara netral, sehingga tidak terperangkap kerancuan berpikir subjektif, kendatipun mungkin mereka secara moril sulit untuk menerima perkawinan berbeda agama, tetapi mereka bisa memilah-milah lokasi ilmiah dengan lokasi ideologis, hingga kesan objektifitasnya lebih mengedepan.[44]
Namun pada sisi lain terlihat pendapat kedua ini menyimpan kelemahan dimana KHI yang telah lahir dengan menyita waktu banyak, dan menghabiskan dana besar, para pengabdi hukum juga telah penat dan lelah, juga secara serius telah dimasyarakatkan, semua ini apa gunanya kalau tidak untuk dilakukan. Negara kita adalah negara hukum dan bukan negara agama, namun negara ini merupakan negara hukum yang melindungi hak-hak orang beragama. Adanya fakta historis dari keberadaan piagam jakarta yang menyebutkan tujuh kita penting bagi umat Islam, walaupun kemudian dihapus, namun juga diungkap dan dijadikan sebagai sumber hukum materil karena pesan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, mengarahkan bahwa persoalan krusial dan subtansial yang menjadi persoalan dan perdebatan penting di awal negara ini akan dibentuk.
Lebih rinci penulis akan memberikan analisis mengenai persoalan perkawinan berbeda agama ini yang tertera dalam KHI:pertama, dalam bentuk realitas perkawinan berbeda agama terlihat berjalan terus, kemudian petugas yang berwenang dalam hal ini Pegawai Catatan Sipil tetap melayani mereka, karenanya pernikahan mereka resmi, serta memiliki bukti autentik pernikahan yaitu surat nikah. Kalau memang hal ini dipandang tidak sah, ilegal, dan inkonstitusional maka perbuatan mereka bisa tergolong pidana, perbuatan mesum mereka tidak memperoleh izin resmi, dan bisa dianggap mengganggu ketentraman umum.Hingga dengga demikian mereka dapat dibawa e persidangan untuk diadili.Ternyata hal ini tidak pernah dijumpai di negara kita, hingga memberikan pandangan bahwa perkawinan berbeda agama masih tetap dapat dilakukan.
Kedua, keikutsertaan Menteri Agama dalam mengatur perkawinan berbeda agama dipahami kurang proporsional.Karena diketahui bahwa pada waktu itu, induk Pengadilan Agama saat itu ada dua yaitu; Menteri Agama dalam hal bidang organisatoris, administratif, dan finansial.Sedangkan dalam aspek teknis fungsioanl yudikatif, dalam arahan dan bimbingan Mahkamah Agung.[45]Karena itu tindakan Menteri Agama yang ikut mengatur KHI dipandang telah memasuki wilayah yudikatif, dan hal ini dianggap melampui batas kewenangan Menteri Agama selaku representasi dari kekuasaan eksekutif, dan bukan yudikatif.
Ketiga, sikap KHI melarang perkawinan berbeda agama terlihat tidak tegas. Sikap KHI ini terlihat dalam keraguan, di satu sisi melarang perkawinan berbeda agama, tetapi pada sisi lain tetap membolehkaananya. Hal ini terlihat dengan jelas pada pasal-pasal yang mengatur perkawinan berbeda agama tersebut.Pasal 40, 44, dan 61 terlihat sejalan, yaitu tidak menghendaki perkawinan berbeda agama.Karena pada pasal 40, 44, tersebut KHI dengan tegas mearangnya dan pada pasal 61dikatakan bahwa para pihak yang mempunyai hak dapat melakukan pencegahan terhadapnya.Berbeda hal dengan pasal 116 yang dinilai tidak serius membendung orang untuk melakukan perkawinan berbeda agama.Pasal 116 tersebut menyatakan bahwa bagi pasangan suami istri yang telah menikah, lantas salah seorang di antara mereka murtad (keluar dari Islam) KHI memberi kesempatan bagi salah satu yang masih tetap dengan ajaran agama Islam untuk melakukan perceraian bila ternyata mereka tidak rukun.Penyebutan KHI tentang “beralih agama yang mengakibatkannya terjadi ketidak rukunan” ini penuh dengan kesia-siaan.Karena kalau peralihan agama terjadi dan mereka masih rukun maka tidakl dapat dijadikan alasan perceraian.Bahkan eksistensi murtad tida dianggap sebagai dasar terhadap alasan perceraian, namun pada ketidak rukunannya.Padahal secara umum perceraian terjadi karena ketidak rukunan bukan karena murtad.Karena itu unsur murtad sebagai alasan perceraian tidak sginfikan dan tidak terlihat.
Keempat, larangan KHI untuk melakukan perkawinan berbeda agama tidak fungsional. Dikatakan demikian karena di Indonesia ini ada dua lembaga yang bertugas untuk mengawasi dan mencatat perkawinan, yaitu PPN dari Kantor Urusan Agama (KUA), ini khusus bagi yang beragama Islam baik calon suami maupun calon istri. Kemudian pegawai yang sama dari Kantor Catatan Sipil untuk perkawinan selain orang Islam. Berangkat dari ketentuan ini, bila pasangan calon saumi istri tersebut ingin melakukan perkawinan berbeda agama maka yang berwenang dalam hal ini adalan Kantor Catatan Sipil yang berada dibawah Kementerian Dalam Negeri. Dari lembaga inilah mereka mendapatkan pengawasan perkawinan, sekaligus untuk dapat dicatatkan dan memiliki akta nikah.Bagi lembaga Catatn Sipil perbedaan agama tidak menjadi masalah bagi mereka untuk mendapatkan hak-hak legalitas mereka di mata hukum.Mereka tidak mengindahkan ketentuan yang ada dalam KHI meskipun secara tegas KHI menyebut pelarangan perkawinan berbeda agama.
Kelima, hal yang lebih ironis lagi adalah bahwa realitas yang terjadi banyak orang yang masuk ke dalam Islam atas dasar agar perkawinan mereka dipandang sah.Namun bagaimana pertumbuhan dan perkembangan perkawinan tidak terjamah dan tersentuh oleh KHI.Mereka selamat dari pasal KHI yang melarang perkawinan berbeda agama. Namun jika yang bersangkutan kembali murtad )keluar dari Islam ), KHI tidak memiliki ketentuan yang mengatur hal tersebut. Karena kalau ternyata mereka secara keluarga rukun-rukun saja, maka KHI tidak mempunyai aturan tegas bagaimana pembatalan perkawinan mereka itu dapat dilakukan.[46]Keenam, KHI harus diadakan perubahan yang signifikan baik secara materi hukum terutama ketegasan tentang larangan perkawinan berbeda agama maupun kedudukan yuridisnya, agar keberlakuannya tidak bersifat moral namun formal dan mengikat.
D. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat diambil empat kesimpulan, yaitu: pertama, perkawinan Berbeda Agama adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita, yang karena berbeda agama, menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan beda agama yang dimaksudkan dalam tulsian ini adalah, perkawinan yang dilakukan oleh orang yang tunduk pada agama dan keyakinan yang berbeda. Kedua, kebolehan mengawini wanita kitabiyah tersebut seperti yang dikemukakan Allah Swt. dalam Q.S. Al-Ma’idah:5 adalah berupa dispensasi, karena suatu keadaan di mana ada kesulitan bagi pria muslim untuk mendapatkan wanita muslimah di sekitar mereka, karena memang jumlah wanita muslimah saat itu sangat sedikit. Sehubungan dengan kondisi Indonesia yang ada sampai saat ini ternyata tidak demikian halnya, karenanya dispensasi tersebut tidak boleh digunakan, artinya tidak boleh menikahi non muslim dengan alasan sulit untuk menemukan wanita msulimah, sedang mereka itu adalah tergolong wanita kitabiyah. Kemungkinan kebolehan menikahi wanita kitabiyah ini hanya dapat dilakukan di negeri-negeri yang penduduknya minoritas muslim, sedangkan wanita kitabiyah banyak dijumpai di sana. Dengan demikian tidak diperkenankan bagi seorang muslim di Indonesia ini untuk menikahi wanita non muslim dengan alasan bahwa mereka itu aalah tergolong wanita kitabiyah.
Ketiga, MUI secara tegas melarang adanya perkawinan berbeda agama. Keputusan Majelis Ulama Indonesia tahun 1980 yang ditanda tangani oleh Prof. Dr. Hamka memfatwakan: (1) “Perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki non muslim adalah haram hukumnya”. (2) “Seorang laki-laki muslim diharamkan mengawini wanita bukan muslim. Tentang perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahl Kitâb terdapat perbedaan pendapat. Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadahnya (kerusakannya) lebih besar daripada maslahatnya, Majelis Ulama Indonesia memfatwakan perkawainan tersebut hukumnya haram”. Keharaman itu juga didasari dengan alasan bahwa para non Muslim tersebut bukan lagi dikategorikan sebagai ahli kitab, mereka telah berbeda dengan ahli kitab yang asli yang dimaksudkan oleh Q.S. Al-Ma’idah:5.
Keempat, Kompilasi Hukum Islam sendiri lewat empat pasal krusial yaitu pasal 40, 44, 61 dan 116 telah menjelaskan tentang dilarangnya perkawinan beda agama. Hal yang sama juga pada ketentuanyang diatur dalam UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.Dalam konteks KHI hemat penulis memiliki kelemahan baik dari sisi materi hukumnya maupun eksistensi formal hukumnya. Secara materi hukum terjadi kerangka pemikiran yang tidak sistematis dan logis, mengingat satu sisi pasal (41, 44 dan 61) melarang tegas adanya perwakinan berbeda agama, namun pada pasa 116 KHI terlihat tidak tampak menjadikan unsur berbeda agama sebagai unsur yang penting dalam memutuskan suatu ikatan perkawinan, namun justru hanya melihat kerukunan atau tidaknya rumah tangga. Hingga klausul beda agama menjadi tidak signifikan dan bermakna. Hal ini menjadi sangat penting mengingat KHI sering dipandang sebagai kitab fikih mazhab Indonesia, karena ia hadir lewat proses intleketualitas dan keulamaan yang digali dari umat Islam Indonesia, dengan segala kondisi obketifitas lokalnya. Sehingga KHI menjadi jembatan fikih antara keislaman dan keindonesiaan.
DAFTAR BACAAN
Al-‘Aqqad,Abbas Mahmud, Falsafat Al-Qur’an, Kairo-Mesir: Dar al-Hilal, 1985.
Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam,,Kairo: Mathba’ah ‘Ali Subeih, 1968.
Al-Jadziri, Abdurrahman, Kitab al-Fqih ‘ala al-Madzahib al-‘Arba’ah,Mesir: Al-Maktabat al-Tijariyat al-Kubra, 1969.
Al-Jashsash, Ahkam Al-Qur’an,Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Al-Jurjawi, Ali Ahmad, Hikmat al-Tasyri` wa Falsafatuhu, Beirut: Dar al-Fikr, t.t, juz II
Al-Malibariy, Fath al-Mu`zin.Terj., Aliy As`ad, Fath Mu`in , Yogyakarta: Menara Kudus, 1979.
Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Kairo: Dar al-Hadis, t.t.
Al-Sarakhsi, Ushul al-Sarkhasi, dengan tahqiq Abu al-Wafa’ al-Afghani, Kairo:Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1372, jilid 1.
Al-Syathibi al-Muwafaqat Fi Ushul al-Fiqh, Kairo: Mushthafa Muhammad, t.t., jilid I.
Al-Zuhailiy, Wahbah, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, Juz VII, Damsyiq: Dar al-Fikr, 1989.
Eoh, O.S, ,Perkawinan Antaragama dalam Teori dan PraktekJakarta: Raja Grafindo Persada, 1996
Hakim, Abdul Hamid, al-Mu’in al-Mubin,Bukittinggi: Nusantara, 1955.
Hamka, Tafsir Al-Azhar,Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd, 2003.
Hartini, Perkawinan Berbeda Agama di Luar NegeriMakalah pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, tidak diterbitkan.
Hasan, Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup,terj. Agah Garnadi, Bandung: Pustaka, 1984
Ibn Taimiyah, Ahkam al-Jawaz, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyyah, 1408 H/1988.
Kusuma, Hilman Hadi, Hukum Perkaawinan di Indonesia,Bandung: Mandar Maju, 1990.
Madjid, Nurcholish, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah,`Jakarta: Paramadina, 1995.
Mahmood, Tahir, Pesonal Law in Islamic Countries: History, Texs and Comparative Analysis, New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987.
Majalah al-Wa’i, Al-Islam, Kuwait, Maret 1972, Thn. VIII, No.86.
Mudzhar, Muhammad Atho, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: INIS, 1993.
MUI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: Departemen Agama, 2003.
Nawai, Rifa`at Syauqi, Sikap Islam Tentang Poligami dan Monogami, dalam Problematikan Hukum Islam Kontemporer, Editor: Chuzaimah T. Yanggo, HA.Hafiz Anshari, Jakarta: Kerja sama Pustaka Firdaus dan LSIK, 2002, buku 2.
Pagar, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Peradilan Agama di Indonesia, Medan: IAIN Press, 1995.
Pagar, Perkawinan Beda Agama: Wacana dan Pemikiran Hukum Islam Indonesia, Bandung: Ciptapustaka Media, 2006.
Perl, David, A Texbook on Muslim Personal Law, 2nd Edition, London: Croom Helm, 1079.
Purwaharsanto ,Perkawinan Campuran Antar Agama menurut UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: Sebuah Telaah Kritis Aktualita Media Cetak Yogyakarta: tnp, 1992.
Rafiq, Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998.
Rahman, Khalil, Hukum Perkawinan Islam, (Diktat) IAIN Walisongo, Semarang, tt.
Ramulyo, Mohd. Idris, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-undang No. 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Rasjidi, M., Kasus RUU Perkawinan dalam Hubungan Islam dan Kristen (Jakarta: Bulan Bintang, 1974
Rasyid, Rosiahan A, Hukum Acara Peradilan Agama,Jakarta: Rajawali Press, 1991, Cet. Ke 1
RI, Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,Jakarta: Dirbenpera Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI., 1992/1993.
RI, Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 1992/1993.
Ridha , Muhammad Rasyid , dan Muhammad Abduh,Tafsir al-Manar,Beirut: Dar al-Fikr, t.t, juz 6.
Shihab,M.Quraish, Wawasan Al-Qur’an:Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 2007.
Syalabi, Ta’lil al-Ahkam, Beirut: Dar al-Basya’ir al- Islamiyyah, 1986.
Syaltut, Mahmud, Min Taujihat al-Islam,Kairo : Al-Idarat al-‘Ammah li Al-Azhar, 1959.
Taqiyuddin, Imam, Kifayat al-Akhyar Fi Ghayat al-Ikhtishar, Bandung: Al-Ma’arif, t.th, juz II.
[1] Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: MUI,edisi III, 2010),hlm. 472-477
[2] Quraish Shihab, “Ahl al-Kitab” dalam Muhammad Wahyuni Nafis (ed.), Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, cet. 1, (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 10
[3]Abd al-Muta’al Muhammad al-Jabariy, Perkawinan Antar Agama Tinjauan Islam, alih bahasa M.Azhari Hafim, cet.2, (Surabaya: Risalah Gusti, 1994), hlm. 24.
[4]Pagar, Perkawinan Berbeda Agama Wacana dan Pemikiran Hukum Islam Indonesia, (Bandung: Cita Pustaka Media, 2006), hlm. 93-95
[5] Pagar, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Peradilan Agama di Indonesia, (Medan: IAIN Medan, 1995), hlm. 500
[7] Redaksi pasal 61 tersebut berbunyi: Tidak sekufu dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaf al-din. Departemen Agama RI., Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,(Jakarta: Dirbenpera Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI., 1992/1993), hlm. 39.
[8] Pasal 40 KHI menyebutkan: Dilarang melansungkan perkawinan antara seprang pria dengan seprang wanita yang tidak beragama Islam; pereceraian dapat terjadi karena peralihan agama atau murtad…, Ibid. hlm. 32, dan hlm.58-59.
[9] AL-Qurthubi,Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Hadis, t.t) hlm.235-236
[10]Hamka, Tafsir Al-Azhar,(Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd, 2003), Cet. V, Juz VI, h. 139.
[14] M.Quraish Shihab, Wawasan …, h. 261-262.
[15] Mahmud Syaltut, Min Taujihat al-Islam, (Kair0 : Al-Idarat al-‘Ammah li Al-Azhar, 1959), h.253.
[16] M.Qurasih Shihab, Wawasan ... h. 264.
[17]. M. Rasjidi, Kasus RUU Perkawinan dalam Hubungan Islam dan Kristen (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 10-12.
[18] Selain Islam, agama Katholik memandang bahwa perkawinan sebagai sakramen sehingga jika terjadi perkawinan beda agama dan tidak dilakukan menurut hukum agama Katholik, maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah. Sedangkan agama Protestan lebih memberikan kelonggaran pada pasangan yang ingin melakukan perkawinan beda agama. Walaupun pada prinsipnya agama Protestan menghendaki agar penganutnya kawin dengan orang yang seagama, tetapi jika terjadi perkawinan beda agama maka gereja Protestan memberikan kebebasan kepada penganutnya untuk memilih apakah hanya menikah di Kantor Catatan Sipil atau diberkati di gereja atau mengikuti agama dari calon suami/istrinya. Sedangkan agama Hindu tidak mengenal perkawinan beda agama dan pedande/pendeta akan menolak perkawinan tersebut. Sedangkan agama Budha tidak melarang umatnya untuk melakukan perkawinan dengan penganut agama lain asal dilakukan menurut tata cara agama Budha. Lihat, O.S. Eoh, Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 118-125.
[19] Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 1992/1993), h. 32.
[23] Muhammad Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh,Tafsir al-Manar, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), juz 6, h. 177.
[24]MUI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama, 2003), h. 169.
[25] Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: INIS, 1993), h. 99-104.
[26] Pagar, Perkawinan Beda Agama: Wacana dan Pemikiran Hukum Islam Indonesia, (Bandung: Ciptapustaka Media, 2006), h. 65.
[28]Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup,terjemahan Agah Garnadi, (Bandung: Pustaka, 1984), h.110. Lihat juga, Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam,, (Kairo: Mathba’ah ‘Ali Subeih, 1968), h. 8 dan 119.
[29] Dalil secara bahasa berarti petunjuk (penunjuk) jalan atau panduan. Secara teknis adalah sesuatu yang dapat memberikan pengetahuan tentang apa yang dicari (fa huwa ma yumkinu al-tawashshul bihi ila al-‘ilm bimathlubin khabariyin), Al-Amidi, ibid.
[30] Pengelompokan yang mirip seperti dikemukakan di atas, diberikan ad-Dawalibi, dalam kitabnya, al-madkhal ila ‘ilm ushul al-fiqh, (Beirut: Dar al- Kitab al-Jadid, 1965), hlm. 389 dan 422. Beliau membaginya kepada : (1) al-ijtihad al-bayani, (2) al-ijtihad qiyasi,(3) al-ijtihad al-istishlahiy.Tetapi dia sendiri tidak puas dengan katagori ini, karena tidak tegas kriterianya.Sebagai contoh misalnya, dalil istihsan dapat masuk dalam katagori pola penalaran qiyasi, namun mungkin juga dapat masuk dalam kategori pola penalaran istishlahi.Dalam upaya menegaskan dari ketidakjelasan tersebut maka istilah yang dipakai di sini adalah pola penalaran ta’lili, karena istilah ini mencakup semua kategori dari pemahaman tentang istihsan tersebut.
[31] Al-Sarakhsi, Ushul al-Sarkhasi, dengan tahqiq Abu al-Wafa’ al-Afghani, (Kairo:Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1372), jilid 1, h. 11.
[32] Jumhur ulama usul fikih berpendapat bahwa perintah dan larangan Allah mempunyai sasaran yang ingin dicapai..Lebih lanjut lihat. Syalabi, Ta’lil al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Basya’ir al- Islamiyyah, 1986), h.150.
[33] Abbas Mahmud Al-‘Aqqad, Falsafat Al-Qur’an, (Kairo-Mesir: Dar al-Hilal, 1985), h. 84.
[34] Q.S. Al-Rum: 21.
[35] Q.S. Al-Baqarah: 187.
[36] Kafa’ah dalam perkawinan adalah sama dan sebanding (al-musawat wa al-mumatsalat), misalnya yang paling, seagama, atau sama-sama bercita-cita mengembangkan keuturunan yang shalih, dan lain-lain. Sebagai konsekuensi kafa`aah dalam soal agama, seorang wanita muslimah haram kawin dengan pria kafir.
[37] Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab Fqh ‘ala madzahib al-Arba’ah…, Jilid IV, h. 58-61.
[38] Q.S. Al-Furqan : 18.
[39] Abbas Mahmud al-‘Aqqad, Falsafat Al-Qur’an …, h. 96.
[40] Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmat al-Tasyri’ wa Falsafatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), juz II, h. 6-7.
[41] Rifa’at Syauqi Nawai, Sikap Islam Tentang Poligami dan Monogami, dalam Problematikan Hukum Islam Kontemporer, Editor: Chuzaimah T. Yanggo, HA.Hafiz Anshari, (Jakarta: Kerja sama Pustaka Firdaus dan LSIK, 2002), buku 2, h. 116.
[42] Al-Syathibi al-Muwafaqat Fi Ushul al-Fiqh, (Kairo: Mushthafa Muhammad, t.t.), jilid I, h. 21. Lihat pula Faisar Ananda Arfa, Filsafat Hukum Islam …,h. 102.
[43] Al-Syathibi, Al-Muwafaqat …, jilid II, h. 4
[44] Pagar, Perkawinan Berbeda Agama: Wacana dan Pemikiran Hukum Islam Indonesia, (Bandung: Ciptapustaka Media,2006), h. 107-112
[45] Rosiahan A.Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama,(Jakarta: Rajawali Press, 1991), h. 10-18.
[46] Pagar, Perkawinan Berbeda Agama..., h. 107-120.